Beberapa pagi datang tanpa peringatan, seperti halnya debu yang pelan-pelan menyelubungi kaca jendela. Ia datang diam-diam, namun lama-lama ia menetap. Saya terbangun---bukan oleh kokok ayam, bukan oleh desir angin subuh yang menyelinap dari jendela, tetapi oleh kilatan layar dan dunia yang memanggil lewat notifikasi.
Satu pesan masuk. Dua puluh cerita dari orang-orang yang saya kenal separuh hati. Tiga berita dari sudut dunia yang tak pernah saya injak, namun terasa lebih mendesak dari suara sendok dan cangkir di dapur rumah. Hari pun dimulai.
Entah sejak kapan ini menjadi kebiasaan. Dunia terasa mengecil, seolah cukup digenggam. Dan sejak itulah, barangkali, saya mulai kehilangan sesuatu. Hari-hari berlalu tanpa benar-benar saya alami. Pandangan tertuju ke layar, namun pikiran melayang entah ke mana.
Pernahkah Anda merasa hadir dalam hidup tapi tak sungguh-sungguh hidup di dalamnya? Tubuh ini bergerak, mulut ini berkata-kata, tangan ini bekerja. Namun ada semacam jiwa yang tertinggal, tercecer di lorong waktu yang tak kita beri nama. Seperti menonton pertunjukan yang seharusnya diperankan sendiri.
FOMO---Fear of Missing Out--- adalah nama yang diberikan zaman untuk kecemasan jenis ini. Tapi yang paling menyayat bukanlah rasa takut tertinggal, melainkan rasa kehilangan yang tak kita sadari. Kita tak kehilangan karena dunia berlari terlalu cepat, tetapi karena kita terlalu sering menoleh ke segala arah, mencari sesuatu yang bahkan tidak kita butuhkan.
Pernah saya percaya bahwa produktivitas adalah kunci hidup baik. Bangun pagi, cek email, balas pesan, scroll berita, unggah konten. Tapi kesibukan tidak selalu berarti keterlibatan. Kadang, diam lebih penuh daripada keramaian yang hampa.
Di warung kopi, saya menyadari betapa langkanya seseorang hadir sepenuhnya. Kopi disajikan, percakapan mengalir, lalu patah oleh getar halus dari saku celana. Kita tertawa, bukan karena lucu, tetapi karena yang lain tertawa. Kita mengangguk, tanpa benar-benar memahami apa yang disetujui.
Saya teringat satu sore dari masa kecil. Duduk di teras, menatap sawah yang ditanami tembakau, mendengar alunan pujian-pujian dari pengeras suara langgar. Tidak ada yang monumental, namun saya ingat betul rasa dingin lantai semen, warna biru tua langit, dan aroma tanah basah dari ujung pematang. Momen kecil yang entah kenapa, tetap tinggal.
Hari ini, saya menyentuh ratusan gambar, membaca puluhan caption, menonton video dengan musik sama yang diulang-ulang. Tapi semua itu menguap seperti kabut pagi. Tak satu pun tinggal. Tak ada yang mengendap.
Apa yang sebenarnya kita kejar? Informasi? Koneksi? Validasi? Ataukah hanya rasa takut jadi yang paling terakhir tahu? Hidup bukan lomba, dan kita bukan peserta yang harus lebih dulu mencapai garis akhir.
Seorang teman pernah berkata, ia merasa selalu tertinggal dari sesuatu yang bahkan tak tahu namanya. Ia mengikuti semua tren, membaca yang viral, membuat unggahan sesuai musim, namun tetap merasa kosong. Saya paham betul. Karena dalam kejaran yang tanpa jeda itu, kita lupa bertanya: apa yang sungguh-sungguh kita butuhkan?