Mohon tunggu...
Moh. Cholid Baidaie
Moh. Cholid Baidaie Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Tidak semua hari punya tempat untuk pulang.Sebagian tinggal sebagai gumam. Sebagian lagi hilang begitu saja, ditelan waktu dan dunia yang terlalu sibuk. Lalu sebagian kecil dari mereka—yang diam-diam ingin diselamatkan—ditempatkan di sini.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup yang Terlewatkan: Tentang Rasa Takut Tertinggal dan Waktu yang Habis di Ujung Jempol

25 Juni 2025   21:20 Diperbarui: 25 Juni 2025   21:20 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Barangkali, yang hilang adalah keutuhan. Keutuhan untuk duduk membaca satu halaman tanpa berpindah aplikasi. Keutuhan untuk mendengarkan wajah lawan bicara, bukan hanya suaranya. Keutuhan untuk menyeduh kopi tanpa memikirkan komposisi cahaya terbaik untuk difoto.

Saya mencoba satu pagi tanpa ponsel. Menyapu halaman, menyeduh kopi, membuka buku puisi. Hening. Tapi bukan hening yang menyergap cemas, melainkan hening yang membuat napas lebih pelan. Saya menemukan kembali diri saya yang selama ini hilang dalam guliran jempol.

Teknologi tak harus dijauhi. Ia hanya perlu diberi pagar. Bukan untuk mengurung, tetapi membatasi agar yang tumbuh tidak liar. Kita butuh ruang. Ruang untuk hadir. Ruang untuk mendengar suara angin. Ruang untuk mengenal langkah sendiri.

Sebab hidup yang utuh bukanlah tentang berapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa dalam kita mengalami. Ia tidak selalu datang dari petualangan atau perayaan. Kadang cukup dari suara sendok di gelas, dari mata ibu yang memandang tenang, dari bayang matahari sore di lantai rumah.

Saya membayangkan, suatu hari nanti, ketika waktu bertanya: "Apa yang kau lakukan dalam hidupmu?", saya tidak ingin menjawab: "Saya sibuk menggulir layar."

Saya ingin menjawab: "Saya hadir. Saya menyimak. Saya mengalami hari-hari saya, tidak hanya melewatinya."

Di zaman yang terlalu cepat, kehadiran adalah keberanian. Dan keberanian itu, barangkali, dimulai dari satu keputusan sederhana: meletakkan ponsel, menatap sekitar, dan kembali ke tubuh sendiri.

Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang apa yang kita tahu, tapi tentang apa yang kita rasakan. Dan rasa, tak pernah bisa digulir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun