Barangkali, yang hilang adalah keutuhan. Keutuhan untuk duduk membaca satu halaman tanpa berpindah aplikasi. Keutuhan untuk mendengarkan wajah lawan bicara, bukan hanya suaranya. Keutuhan untuk menyeduh kopi tanpa memikirkan komposisi cahaya terbaik untuk difoto.
Saya mencoba satu pagi tanpa ponsel. Menyapu halaman, menyeduh kopi, membuka buku puisi. Hening. Tapi bukan hening yang menyergap cemas, melainkan hening yang membuat napas lebih pelan. Saya menemukan kembali diri saya yang selama ini hilang dalam guliran jempol.
Teknologi tak harus dijauhi. Ia hanya perlu diberi pagar. Bukan untuk mengurung, tetapi membatasi agar yang tumbuh tidak liar. Kita butuh ruang. Ruang untuk hadir. Ruang untuk mendengar suara angin. Ruang untuk mengenal langkah sendiri.
Sebab hidup yang utuh bukanlah tentang berapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa dalam kita mengalami. Ia tidak selalu datang dari petualangan atau perayaan. Kadang cukup dari suara sendok di gelas, dari mata ibu yang memandang tenang, dari bayang matahari sore di lantai rumah.
Saya membayangkan, suatu hari nanti, ketika waktu bertanya: "Apa yang kau lakukan dalam hidupmu?", saya tidak ingin menjawab: "Saya sibuk menggulir layar."
Saya ingin menjawab: "Saya hadir. Saya menyimak. Saya mengalami hari-hari saya, tidak hanya melewatinya."
Di zaman yang terlalu cepat, kehadiran adalah keberanian. Dan keberanian itu, barangkali, dimulai dari satu keputusan sederhana: meletakkan ponsel, menatap sekitar, dan kembali ke tubuh sendiri.
Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang apa yang kita tahu, tapi tentang apa yang kita rasakan. Dan rasa, tak pernah bisa digulir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI