Kedua, Saya tidak terima dengan penilaian "gangguan mental sama dengan gila", karena memang pada faktanya, mental illness mempunyai banyak jenis, dan tidak bisa dicap sebagai orang gila atau orang tidak waras.
Pihak Bipolar Care Bandung pun merespon, dan memberikan ultimatum kepada Penerbit dan membernya yang sedang adu argumen dengan Saya. Respon itu Saya kirimkan ke grup, malah mereka semakin aneh dengan berencana untuk menyeret Saya ke ranah hukum. Namun sayangnya, Saya bukan orang penakut, justru Saya semakin lantang berteriak.
Saya pun merasa ingin menyudahi perdebatan di dalam grup itu, karena pihak Bipolar Care Bandung sudah memberikan reaksi. Namun sayangnya, mereka malah semakin menjadi dengan menjadikan mental illness sebagai bahan bercandaan. Saya yang sudah diam akhirnya buka suara, dan melontarkan kritikan tajam ke mereka semua. Namun lagi-lagi, member dengan label "penulis" tidak mengindahkan reaksi Saya.
Sampai pada akhirnya, salah satu admin penerbit mengeluarkan respon dengan berkata "jangan terpancing dengan provokasi, jika dalam agama sudah diharamkan, maka tidak boleh dipertanyakan." Saya membaca respon itu, kemudian mengirimkan pesan pribadi dengan berkata bahwa Saya kecewa, kenapa yang dibahas soal alkohol? Sedangkan yang membuat Saya naik pitam adalah soal mental illness yang dianggap gila.
Esoknya, pihak Bipolar Care Bandung menghubungi pihak penerbit setelah Saya kirimkab semua screenshot. Dan pada akhirnya, penerbit meminta maaf dan berjanji akan mengedukasi lagi para membernya, agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Apa yang Saya terima di dalam grup adalah sebuah diskriminasi, di mana argumen yang Saya lontarkan lewat artikel, disepelekan hanya karena Saya seorang penyintas. Dan itu dilakukan oleh penulis, oleh orang yang mempunyai intelektualitas. Atas pengalaman tidak menyenangkan itu, akhirnya Saya pun menyadari bahwa tidak semua penulis itu orang pintar.
Ya, banyak orang di luar sana menyuarakan tentang toleransi, tetapi sendirinya melakukan diskriminasi kepada Saya seorang penyintas. Jika kasusnya demikian, pantaslah sumber daya manusia di Indonesia banyak yang tidak memenuhi standar kelayakan/penilaian, sehingga sumber daya manusia negara kita banyak yang disepelekan oleh orang asing, bahkan hanya dimanfaatkan saja oleh mereka (orang asing).
Sebuah fakta yang menyedihkan, tetapi Saya harus tetap menerima karena pada faktanya Saya seorang warga negara Indonesia.