Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indonesia, Si Macan Ompong yang Semakin Ompong

24 Oktober 2020   03:23 Diperbarui: 24 Oktober 2020   04:01 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Dok. Batu Secret Zoo via kompas.com)

Pernah mendengar kata perspektif? Apa sih yang kalian tahu tentang perspektif itu? Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kita sudah terbiasa menggunakan "perspektif" ketika kita sedang 'melihat' sesuatu. Entah itu yang berbentuk visual seperti benda, atau yang non visual seperti sebuah pemahaman (ideologi misalnya), maupun tingkah laku seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perspektif mempunyai dua arti. Yang pertama adalah cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tinggi). Yang kedua adalah sudut pandang atau pandangan.

Dalam konteks linguistik, perspektif adalah suatu pandangan dari sudut satuan kompleks bahasa sebagai wujud yang bergerak. Kemudian dalam konteks partikel, perspektif adalah pandangan dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas atau statis.

Sedangkan dalam konteks visual, perspektif adalah istilah untuk menggambarkan kondisi ketika objek bergerak menjauh, maka objek tersebut akan menjadi lebih kecil. Dan yang terakhir, dalam konteks aerial, perspektif berarti suatu pandangan (objek) yang lebih jauh akan terlihat samar.

Namun dalam artikel kali ini, Saya lebih tertarik membahas perspektif dalam arti sudut pandang (non visual/non objek). Kenapa? Karena Saya bodoh dalam sains, terutama fisika wkwkwk.

Ketika kita mendengarkan sebuah pernyataan, kita dihadapkan pada  pilihan "benar atau salah" mengenai pernyataan itu. Contohnya dalam kasus Omnibus Law. Pemerintah memberikan pernyataan bahwa Omnibus Law akan membuat perekonomian Indonesia kembali stabil, bahkan bisa meroket.

Orang-orang yang mendukung Pemerintah akan setuju dengan pernyataan itu, sesuai dengan perspektif mereka yang menggap bahwa Omnibus Law akan membuat perekonomian Indonesia kembali membaik. Sedangkan pada kubu yang tidak setuju dengan Omnibus Law, menganggap bahwa aturan sapu jagad tersebut justru banyak merugikan pekerja, dan juga mengancam kelestarian alam.

Keduanya (pro dan kontra Pemerintah) tidak bisa disalahkan, tapi belum tentu juga keduanya benar. Kenapa bisa begitu? Inilah yang dinamakan dengan perspektif non objek, dan Saya lebih setuju jika menyebutnya "hipotesa". Loh, kok bisa disebut dengan hipotesa? Non objek cuy, ingat. Kita bisa menganalogikan "objek" sebagai sains, dan "non objek" sebagai filsafat.

Apa sih, perbedaan mencolok antara sains dan filsafat? Jawabannya sudah Saya sebutkan, bahwa perbedaan di antara keduanya adalah, sains memiliki objek sedangkan filsafat tidak memiliki objek. Tambah bingung kan? Hayo ngaku saja, hehe.

Hipotesa adalah kumpulan asumsi, seperti halnya asumsi yang terjadi pada pihak pro dan kontra Pemerintah dalam memandang Omnibus Law. Sedangkan untuk menguji asumsi (hipotesa), diperlukan uji validitas. Jika dalam skripsi, pengujian hipotesa memerlukan beberapa alat uji guna mendapatkan kesimpulan "apakah perspektif pro dan kontra Pemerintah valid (benar) atau tidak valid (salah).

Seperti itulah kiranya gambaran sederhana dari "perspektif". Lalu, bagaimana cara menguji Omnibus Law? Caranya yaitu dengan menguji per pasal, H0 diasumsikan benar (positif), H1 diasumsikan salah (negatif). Maka uji validitasnya adalah, harus dengan melakukan kedua-duanya.

Contohnya dalam pasal yang mengatur upah. Pemberian upah sesuai UMK diasumsikan sebagai H0, sedangkan upah per jam diasumsikan sebagai H1. Diperlukan waktu satu bulan untuk melakukan uji validitas terhadap "upah".

Apakah upah per jam lebih besar layak dari upah sesuai UMK, atau justru kebalikannya. Jika upah per jam lebih layak untuk buruh, maka H0 ditolak alias perspektif Pemerintah salah. Namun jika kebalikannya, maka H0 diterima alias perspektif Pemerintah benar.

Sampai sini apakah sudah paham? Jika sudah, mari kembali ke konteks perspektif non objek. Jika belum, silahkan baca ulang, wkwkwk.

Ketika benang merah soal perspektif sudah ketemu, kita bisa mengartikan bahwa perspektif sama dengan relatif. Yang artinya, tidak ada kebenaran dan kesalahan absolut sebelum dilakukan pengujian. Sama halnya jika kita berbicara masalah hukum.

Ketika terdakwa dikatakan bersalah atas dasar banyaknya bukti kejahatan, maka hukuman kepada terdakwa merupakan kebenaran absolut. Namun jika kebaliknya, maka kebebasan terdakwa dari jerat hukum adalah kebenaran absolut. Kenapa bisa serumit ini?

Sebenarnya tidaklah rumit jika kita sudah tahu bahwa kita sedang hidup di zaman Post Modernisme. Dalam posmo, tidak ada benar dan salah yang absolut, yang adalah hanyalah relatif, atau bisa dibilang "abu-abu".

Semua orang berhak memberikan perspektif, sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Come on, this is free speech right? Kita hidup dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi, maka sangat tidak relevan jika terjadi banyak pembungkaman, intimidasi, diskriminasi, bahkan pembunuhan hanya karena perspektif kita dianggap berbeda (minoritas).

Perspektif minor belum tentu salah, begitu juga dengan perspektif major. Kenapa bisa demikian? Because this is perspective, bro! Not a conclusion after passing validation test

Saya pribadi sungguh sangat menyayangkan dengan banyaknya kasus pembungkaman, pembatasan berekspresi, khususnya tindakan represif yang dilakukan oleh negara lewat aparat keamanan, maupun ormas binaan.

Padahal, negara wajib mendengarkan perspektif mereka (massa) yang menuntut dibatalkannya aturan sapu jagad (Omnibus Law). Sehingga akan terjadi keseimbangan, karena yang didengarkan bukan hanya perspektif dari kubu pro Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun