Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Bermata Satu

4 April 2020   11:36 Diperbarui: 4 April 2020   11:34 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika masa telah datang, di mana rasa terngiang tentang pengabdian kepada setan dimulai, di saat itulah kuasa manusia diperjuangkan, dipegang hingga tak terlepas kecuali oleh kematian. 

Engkau datang bersama orang-orang yang Kau sayang, sedang yang terbuang? Sampai putus pita suara memanggil namaMu, namun tak pernah Kau hiraukan. 

Aku datang bersama orang-orang yang terbuang, sedang Kau lalu lalang bersama mereka yang Kau sayang. Dimanakah wujudMu berada, Tuhan. Sampai lelah kaki ini melangkah, sampai pasrah asa ini tak pernah terjamah. 

Aku terbuang di ujung dunia, tak berkawan, tak punya iman. JejakMu samar-samar aku ikuti, suaraMu tak ada di memori. Angin kurasa gersang, kering terik matahari tak henti membakar kulit, tapi diriMu tak pernah kembali, bahkan hanya sekedar bertegur sapa.

Tak ada apapun, kemanusiaan yang sepanjang masa dijunjung tinggi pun tak aku temui, tak ada. Rasanya segala yang terasa aku selipkan do'a, aku rapihkan per abjad, aku tata hingga enak dipilah. Namun keajaiban itu tak pernah muncul, tak pernah terdengar, hingga perlahan kotak-kotak sengon mulai rapuh dilucuti rayap.

Oh Tuhan, katanya Engkau penawar segala racun, pengabul semua do'a yang baik, Dzat yang maha adil. Tapi kenapa Engkau anak tirikan orang-orang yang terbuang, yang disingkirkan dari indahnya kemajuan zaman. 

Tapi aku yakin, Tuhan, mereka masih tetap setia berdo'a, memohon ampun atas kesalahan yang tak mereka lakukan. Entah, aku pun heran, setebal apa iman mereka. Atau mungkin, lebih baik berTuhan walau hidup menderita. 

Derita yang tak berkesudahan, derita yang lambat laun membunuh mereka secara pasti. Mungkin, yang penting berdo'a dan beriman. Urusan dijabah atau tidak, peduli setan.

Tapi tidak bagiku, Tuhan. Engkau tak lebih dari sekedar pembual. Pembual ulung yang merdeka. Pembual sempurna yang berhasil menaklukkan logika banyak manusia. Jika Kau ingin melaknat, laknatlah sekarang Tuhan. 

Dilaknat atau tidak, sama saja. Tak ada perbedaan. Tak ada keistimewaan. Percayalah, Tuhan. Dulu, setiap saat namaMu selalu terucap secara kaffah, tak ada keraguan yang berani singgah di hati dan pikiranku. Syair ayat-ayat suci aku lantunkan, kugemakan hingga menetes air mataku, bergetar bibirku, merinding tubuhku. 

Apapun yang berhubungan denganMu begitu aku sakralkan, begitu mistis hingga tak ada setan yang berani mendekat. Butir-butir tasbih tak terhitung aku mainkan, sholawat serta salam tak lupa aku tinggikan. Begitu sempurnanya pesonaMu saat itu, Tuhan, hingga aku pikir tangan ini terlalu najis untuk menyentuhMu, bibir ini terlalu lamis untuk menyebut namaMu.

Dunia, luasmu teramat mustahil untuk aku jelajahi, tapi rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup untuk bertahan di tempat ini. Tempat yang tidak pernah aku impikan, tempat yang tidak pernah aku inginkan. 

Entah, maksudMu apa menempatkanku di sini. Tak diskusi, tak beri aba-aba. Ruang hampa yang tak mengenal kadaluarsa, ingin pergi pun tak ada pintu yang aku jumpai. 

Entah sampai kapan aku kan bertahan, melayang-layang tak tentu arah, terluka karena benturan yang tak aku lihat. Suara-suara menyeramkan itu selalu bergema, membentak hingga berdebar kencang jantung di dada. 

Suara-suara itu seakan ingin menelanku hidup-hidup, tapi sayangnya tubuh ini sekeras batu meteor. Aku terlunta. Aku kelaparan. Aku kehausan. Tak ada yang bisa kumintai pertolongan, apalagi perlindungan. Na'as begitu nyata bagi aku yang terbuang. Tak ada kasih sayang. Tak ada pelukan. Hingar bingar dunia yang dulu aku bayangkan, nyatanya hanya semu belaka.

Angin malam memapah langkahku yang sempoyongan. Daun-daun kering yang aku sentuh adalah satu-satunya teman, suara yang tak akan pernah disamai bahkan oleh Tuhan sekalipun. Lihatlah Tuhan! Aku berjalan di duniaMu, menjelajahi seperkecil bumi yang Kau ciptakan. 

Disetiap jengkal perkotaan aku lihat banyak orang berkeliaran: ada yang jenggotan, kopiyahan. Ada juga yang hampir telanjang. Bahkan tak sedikit yang meneguk minuman haram. Kenapa tak Kau laknat mereka Tuhan? Kenapa tak Kau beri cobaan sepertiku Tuhan? Kenapa? Apakah aku layak dipermainkan? Tapi tunggu dulu Tuhan, sebelum aku benar-benar mati kelelahan, aku ingin mencicipi banyak hal yang haram. Persetan dengan omongan pemuka agama. Persetan!

Malam, oh malam, kenapa kau teramat panjang untuk aku yang membenci petang. Rasanya sudah amat tersiksa dengan kegelapan yang menerjang disetiap hela nafas, sesak nan pengap tak berdaya aku menerimanya. 

Kenapa pula dunia ini tak lekas kiamat, hingga hilang segala bentuk kesengsaraan, kesakitan, keserakahan, penindasan, ketidakadilan. Skenario edan macam apa ini! Mereka yang terlantar dibiarkan mati kelaparan. 

Mereka yang tidur nyenyak makin dimanjakan. Katanya Tuhan itu adil, tapi kenapa kebahagiaan selalu didapat mereka yang mempermainkan Tuhan. Sedang yang kelaparan? Mereka selalu tulus berdo'a dan mengabdi kepada Tuhan, tapi tak ada sedikitpun perubahan. Tulikah telingaMu Tuhan? Hingga jeritan-jerita itu perlahan hilang satu per satu oleh kematian?

Andaikan Tuhan itu nyata, aku ingin sekali membuktikan. Apakah Tuhan itu bermata dua, atau mata yang satunya buta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun