Tadi pagi saya mendapat kiriman tulisan Peter F. Gontha tentang  Purbaya Yudhi Sadewa (PYS). Memang menarik membaca tulisan Peter Gontha tersebut, apalagi dulu saya kerap berkomunikasi dengan beliau melalui media sosial. Tulisan Peter selalu menarik bagi saya.
Setelah membaca tulisan Peter  Gontha tersebut saya tergerak untuk menulis, dan tulisan itu saya tulis dan mengalir secara spontan saja.
Tulisan saya ini diposisikan bukan untuk menjatuhkan pribadi seseorang, melainkan memberi perspektif kritis terhadap klaim yang disampaikan Peter.
Sanggahan terhadap Tulisan Peter F. Gontha tentang Purbaya Yudhi Sadewa.
Saya membaca tulisan Peter F. Gontha mengenai Purbaya Yudhi Sadewa (PYS) dengan penuh perhatian. Maaf, ada beberapa poin yang menurut saya perlu diluruskan agar publik mendapat gambaran yang lebih seimbang, tidak hanya narasi sepihak yang menyanjung tanpa mengkritisi secara mendasar (without basic critics).
Yang Pertama, Pergantian Sri Mulyani Indrawati (SMI) ke PYS bukan sekadar "rotasi biasa".
Benar, bahwasanya Sri Mulyani (SMI) memiliki reputasi internasional dan menjadi simbol disiplin fiskal. Namun, mengaitkan kepergian beliau hanya dengan "guncangan psikologis pasar" adalah sebuah penyederhanaan..., menurut saya a simplicity of the issues.
Pasar merespons karena faktor credibility gap: Sri Mulyani telah lama membangun kepercayaan global, sementara PYS belum memiliki rekam jejak memadai di level internasional. Jadi, wajar saja jika investor ragu. Artinya bukan semata-mata masalah gaya komunikasi, melainkan track record and credibility..., ya, rekam jejak dan kredibilitas.
Hal Kedua:Â Gaya arogan tidak bisa dinormalisasi
Peter menulis bahwa gaya arogan PYS harus dimaklumi sebagai strategi politik. I'm very confused at the beginning. Namun setelah saya berpikir jernih dan berusaha melihatnya secara inklusif, akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa pandangan ini bermasalah. Komunikasi seorang pejabat publik, apalagi Menteri Keuangan, tidak hanya untuk menunjukkan ketegasan pada oligarki, tetapi juga untuk menjaga stabilitas pasar, menenangkan publik, dan membangun kepercayaan. Arogansi justru bisa menimbulkan kebingungan, memperlebar jarak dengan masyarakat, dan memperburuk kepercayaan dunia usaha.Â
Hal Ketiga, yaitu Narasi "perang melawan perampokan SDA" bukanlah hal baru.Â
PYS digambarkan seolah menjadi pionir dalam membongkar praktik under-invoicing, manipulasi ekspor, dan penyelundupan. Padahal, isu ini sudah lama menjadi perhatian publik, akademisi, dan aparat penegak hukum. Bahkan Sri Mulyani sendiri pernah menyinggung praktik transfer pricing dan kebocoran devisa ekspor. Artinya, PYS bukan orang pertama yang menyadari persoalan ini. So.., clear enough that PYS is not the first. Tantangan sesungguhnya bukan sekadar menyuarakan, tetapi mengeksekusi kebijakan konkret yang berkelanjutan dan terukur.
Hal Keempat: Tuduhan "oligarki dan mafia ekspor" harus diikuti bukti dan langkah nyata