Pendahuluan
Dalam sistem demokrasi, keberadaan parlemen bukan sekadar simbol institusi, melainkan representasi langsung dari suara rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyuarakan aspirasi publik melalui tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Melalui perannya itu, DPR diharapkan menjadi jembatan antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan negara. Namun, dalam praktiknya, sering kali muncul jarak antara harapan ideal rakyat dengan kenyataan di ruang sidang parlemen. Ketika rancangan undang-undang diproses tanpa partisipasi publik yang memadai, atau ketika absensi anggota DPR lebih sering terdengar daripada prestasinya, wibawa lembaga ini pun diuji. Masyarakat, khususnya generasi muda, semakin kritis dan menuntut transparansi, akuntabilitas, serta kehadiran nyata para wakil rakyat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
Di sisi lain, tidak dapat diabaikan bahwa DPR juga telah mencatat sejumlah kinerja positif: pembentukan undang-undang strategis, penguatan fungsi pengawasan melalui hak interpelasi dan angket, serta keterlibatan dalam penanganan isu nasional seperti pandemi dan ekonomi digital. Namun demikian, tantangan terbesar DPR hari ini bukan hanya soal menyelesaikan tugas konstitusionalnya, melainkan bagaimana membangun kepercayaan rakyat yang kian menipis. Esai ini akan membahas bagaimana rekam jejak kinerja DPR mencerminkan atau justru menyimpang dari harapan masyarakat, serta sejauh mana aktualisasi aspirasi rakyat dapat diwujudkan melalui lembaga legislatif dalam iklim demokrasi yang terus berkembang.
Kinerja DPR : Antara Konstitusi dan Persepsi Publik
Dalam konstitusi Indonesia, fungsi DPR ditegaskan sebagai tiga pilar utama: pembentukan undang-undang, pengawasan atas kinerja eksekutif, dan persetujuan anggaran. Secara normatif, struktur ini menunjukkan posisi vital DPR dalam sistem demokrasi Indonesia. Namun, pada tingkat pelaksanaan, realitas kinerja DPR sering menimbulkan ambiguitas. Di satu sisi, DPR berhasil menyelesaikan pembahasan beberapa RUU penting seperti RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, revisi UU ASN, serta pengesahan APBN secara tepat waktu (DPR RI, 2023). Namun, di sisi lain, masyarakat lebih sering mencatat momen-momen kontroversial, seperti pengesahan UU Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi karena cacat dalam proses formilnya (Mahkamah Konstitusi, 2021).
Persoalan tidak berhenti pada substansi undang-undang. Kritik tajam diarahkan pada prosedur legislasi yang cenderung tertutup dan minim partisipasi publik yang bermakna. Koalisi masyarakat sipil bersama Amnesty International Indonesia mencatat bahwa pembahasan RKUHP berlangsung tanpa keterlibatan publik secara substansial, dan banyak pasal bermasalah tetap disahkan meski menuai gelombang penolakan luas (Amnesty International Indonesia, 2022). Ini menciptakan kesan bahwa ruang deliberasi publik---yang seharusnya menjadi jantung demokrasi legislatif---semakin menyempit.
Masalah transparansi dan akuntabilitas turut memperkuat persepsi negatif terhadap DPR. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan pemantauannya tahun 2022 menyatakan bahwa sebagian besar anggota DPR tidak aktif melaporkan kinerja mereka kepada publik, dan hanya sebagian kecil yang menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi dua arah dengan konstituen (ICW, 2022). Hal ini menimbulkan kekosongan komunikasi politik yang menjauhkan rakyat dari wakilnya di parlemen.
Dalam aspek pengawasan, kinerja DPR juga belum sepenuhnya mencerminkan keberanian politik sebagai penyeimbang kekuasaan. LIPI (2021) dan CSIS (2022) menyoroti bahwa hak interpelasi dan angket lebih sering digunakan sebagai alat tawar-menawar politik antarfraksi ketimbang sebagai mekanisme evaluatif murni. Ketika DPR gagal mengawasi proyek-proyek strategis nasional yang bermasalah atau memberi tekanan terhadap lembaga eksekutif dalam isu-isu penting seperti penegakan hukum dan HAM, publik meragukan kapabilitas dan independensi lembaga ini.
Lebih jauh, kehadiran fisik anggota DPR dalam ruang sidang pun kerap dipertanyakan. Liputan Kompas dan Tempo pada tahun 2023 menyoroti fenomena banyaknya kursi kosong dalam sidang paripurna, bahkan ketika agenda fundamental seperti pembahasan UU penting sedang berlangsung (Tempo, 2023 & Kompas, 2023). Situasi ini bukan hanya mencederai legitimasi formal DPR, tetapi juga memperkuat kesan bahwa parlemen telah kehilangan makna substantif sebagai ruang kerja wakil rakyat.
Di sinilah letak paradoksnya: sebuah lembaga yang secara konstitusional diberi mandat untuk mendengar dan menyuarakan rakyat, justru terjebak dalam jarak struktural dan simbolik dari rakyat itu sendiri. Ketika komunikasi melemah, kehadiran fisik minim, dan partisipasi publik dibatasi, maka kepercayaan politik yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi akan terus terkikis.
Strategi Perbaikan dan Rekomendasi Solutif