Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Koperasi dalam Arena Sepak Bola

2 Juli 2020   17:46 Diperbarui: 2 Juli 2020   18:54 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Muhammad Aulia Anis (Ilmu Ekonomi 2019), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA UGM

Klub sepak bola berbentuk koperasi nampaknya merupakan konvergensi dari peran klub sepak bola sebagai entitas bisnis maupun institusi sosial. Menurut UEFA, badan sepak bola Eropa, dunia sepak bola yang ideal seharusnya memprioritaskan misi-misi olahraga dibandingkan tujuan finansial. Lebih lagi, setiap klub dapat dikendalikan oleh para anggota mereka berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi (UEFA, 2005, p.10). Akan tetapi, dalam perjalanannya, klub-klub dengan model kepemilikan koperasi menghadapi berbagai tantangan.

Tantangan yang pertama adalah regulasi dari asosiasi sepak bola setempat yang mengharuskan setiap klub sepak bola berbentuk perseroan terbatas. Aturan semacam ini diterapkan di Inggris, Italia, dan Spanyol. Gagasan utama di balik regulasi tersebut adalah agar klub-klub sepak bola memiliki status legal sebagai perusahaan sehingga menimbulkan kewajiban-kewajiban hukum sebagaimana mestinya. Regulasi tersebut tentunya menghalangi banyak klub sepak bola berbasis koperasi untuk dapat berlaga di kompetisi tingkat pertama. Padahal, asosiasi sepak bola setempat bisa saja melegalkan bentuk badan usaha koperasi dan meregulasi hak dan kewajibannya.

Hal tersebut dapat dibuktikan ketika kita menilik sejarah sepak bola Spanyol pada dekade 1990-an. Pada tahun 1990, badan sepak bola Spanyol mulai menerapkan Aturan 10/1990 atau yang juga dikenal sebagai ley del deporte. Aturan tersebutlah yang pertama kali mewajibkan klub-klub di Spanyol agar berbadan hukum perseroan terbatas. Akan tetapi, empat klub menjadi pengecualian dari aturan ini karena basis massa yang kuat serta menunjukkan neraca keuangan yang positif. Empat klub tersebut adalah Real Madrid, FC Barcelona, Athletic Bilbao, dan Osasuna (Ascari dan Gagnepain, 2006).

Tantangan yang kedua adalah keberlanjutan klub sepak bola dari segi finansial. Bentuk badan usaha koperasi kerap dinilai kuno dan tidak menguntungkan, sehingga aspek keberlanjutannya kerap diragukan. Selain itu, liberalisasi permodalan ke dalam klub sepak bola menjadikan bentuk badan usaha koperasi tak lagi lazim. Akan tetapi, beberapa klub sepak bola berbasis koperasi terbukti mencatatkan kinerja finansial yang baik, bahkan lebih baik dibandingkan klub perseroan. Menurut KPMG Football Benchmark, laporan keuangan tahunan klub-klub sepak bola di Eropa yang dirilis oleh KPMG, Real Madrid dan FC Barcelona menduduki peringkat pertama dan ketiga sebagai klub dengan Enterprise Value (EV) terbesar seantero Eropa. Real Madrid divaluasikan sebesar 3.478 juta Euro sementara FC Barcelona sebesar 3.193 juta Euro. Besaran EV mengukur valuasi atau nilai sebuah klub tanpa memperhitungkan struktur kapital yang digunakan untuk membiayai operasional klub (KPMG, 2020). Kedua klub tersebut merupakan contoh kesuksesan koperasi dari segi prestasi olahraga maupun finansial.

Di masa kini, sebagian pelaku industri sepak bola mulai memikirkan kembali pentingnya partisipasi suporter dalam keberlanjutan industri ini. Berbagai klub sepak bola berbasis koperasi kembali bermunculan. Diantaranya Exeter City FC, klub asal kota Exeter yang berlaga di kasta keempat liga Inggris, dan FC United of Manchester, klub yang dibentuk sebagai protes atas akuisisi Manchester United oleh keluarga Glazers pada 2005. Sementara itu, badan sepak bola Jerman telah mempertimbangkan partisipasi suporter dalam kepemilikan klub sejak 1998. Badan tersebut meresmikan aturan yang dikenal dengan "Aturan 50+1" yang mewajibkan 50 persen + 1 bagian klub harus dimiliki oleh komunitas suporter klub. Aturan ini dianggap dapat memperkuat relasi suporter-klub tanpa menghalangi investasi dari luar klub. Adapun, aturan ini mengecualikan beberapa klub yang telah disokong oleh suatu perusahaan yang lebih besar selama lebih dari 20 tahun. Klub tersebut diantaranya Bayer Leverkusen dan VFL Wolfsburg yang masing-masing sejak awal dibentuk oleh Bayer dan Volkswagen (Wilkesmann dan Blutner, 2002).

 Secara tradisional, hubungan sepak bola dengan suporter tak pernah dapat dipisahkan. Partisipasi suporter dalam pengambilan keputusan di dalam klub sudah semestinya difasilitasi. Untuk memfasilitasi dukungan para penggemar, koperasi hadir sebagai solusi.    

Referensi

Adams, A., & Armitage, S. (2004). Mutuality for Football Clubs? Lessons from the Financial Sector. Studies in Economics and Finance, 22(1), 26--41. 

Ascari, G., & Gagnepain, P. (2006). Spanish Football. Journal of Sports Economics, 7(1), 76--89. 

Baur, D. G., & McKeating, C. (2009). The Benefits of Financial Markets: A Case Study of European Football Clubs. SSRN Electronic Journal. 

FC Barcelona. (2019a, October). Annual Reports 2018-19. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun