Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Sektor Energi Indonesia dari Aspek Politik, Ekonomi, Lingkungan, dan Kesehatan (Seri 2)

23 Mei 2019   19:17 Diperbarui: 23 Mei 2019   19:44 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM dan Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UGM

Indonesia dan Minyak Kelapa Sawit: Cerita di Balik Kesuksesannya

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, di samping Malaysia. Peringkat antara keduanya tidak selalu setara sebab Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun 2007 (World Growth, 2011) (Gambar 1). Walaupun Indonesia telah mendahului peringkat Malaysia, kedua negara berkontribusi bersama-sama dalam memproduksi 85% dari minyak kelapa sawit di seluruh dunia (Accountability Counsel, 2017).

dokpri
dokpri

Cheng Hai Teoh (2010) dalam tulisannya yang berjudul "Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector" mengatakan bahwa penanaman komersial tumbuhan kelapa sawit berpusat di Kongo, Malaysia, dan Indonesia pada awal abad ke-20. Yang menarik adalah bagaimana daerah yang tertanam kelapa sawit di Indonesia bertumbuh sebesar 23 kali lipat pada akhir tahun 2009 (Gambar 2). Peningkatan tersebut membantu Indonesia menjadi salah satu pemasok pasar minyak kelapa sawit terbesar yang telah bertumbuh lebih dari 9 kali lipat sejak tahun 1980 sampai 2009. Hal tersebut dapat disebabkan oleh biaya produksi minyak sayur Indonesia yang paling rendah di seluruh dunia (Larson, 1996). Akan tetapi, apakah itu saja penyebabnya?

dokpri
dokpri

Sejak tahun 1965, World Bank telah menyumbangkan hampir US$1 miliar kepada lebih dari 35 proyek-proyek sektor minyak kelapa sawit dan sekitar 50% dari dana tersebut digunakan oleh Indonesia (Hai Teoh, 2010) (Gambar 3). Pada tahun 1969 sampai 1983, US$500,6 juta tersebut digunakan untuk mendanai 7 proyek. Independent Evaluation Group (IEG) menilai bahwa 5 proyek pertama tersebut tergolong memuaskan, sedangkan 2 proyek selanjutnya tidak. Hal tersebut disebabkan oleh performa buruk agensi-agensi yang terlibat dan kesulitan dalam bidang logistik dan manajemen.

dokpri
dokpri

Selain World Bank, International Finance Corporation (IFC) pun telah bersumbangsih dalam proyek-proyek minyak kelapa sawit Indonesia (Gambar 4). Bantuan dari IFC tersebut mendukung kemunculan kelas perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia yang mengambil alih perkembangan produksi minyak kelapa sawit.

Tidak hanya itu, walaupun terkadang implementasinya tertunda dan perekonomian sangat terpengaruh oleh krisis ekonomi, pemilik-pemilik tanah kecil dapat memperoleh mata pencaharian yang layak dari produksinya. Pelibatan para pemilik lahan menciptakan lapangan kerja dan menurunkan tingkat kemiskinan sehingga sekitar 3 juta dari angkatan kerja terlibat secara langsung dalam industri minyak kelapa sawit, berdasarkan lembaga Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

dokpri
dokpri

Sisi pandang yang positif berdasarkan pendapatan dari penjualan minyak kelapa sawit membuat Pemerintah Indonesia menargetkan negaranya untuk menjadi "produsen minyak kelapa sawit bertahan yang terbaik di dunia". Untuk mencapai target tersebut, perlu diproduksi 40 juta ton minyak kelapa sawit sebelum tahun 2020 (Jiwan, 2009). Greenpeace (2009) mengestimasi bahwa target produksi membutuhkan penanaman minyak kelapa sawit tahunan pada 300.000 hektar tanah tambahan. Bagaimana kita dapat mencapainya?

Salah satu kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia, pada tahun 1996, untuk memengaruhi harga-harga domestik minyak kelapa sawit adalah pajak ekspor (Larson, 1996). Pajak tersebut ditetapkan saat harga FOB mencapai US$435/ton dan penerimaan keuntungan ditargetkan, secara khusus, di atas rata-rata.

Terkait kebijakan tersebut, melalui model permintaan ekspor untuk periode 1994-2007, Wiguna (2009) menemukan bahwa kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap permintaan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dengan peningkatan 1% pada keefektifan pajak diprediksi akan mengurangi 0,3% ekspor CPO Indonesia. Wiguna (2009) serta Setiaji (2013) juga menemukan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dari negara-negara importir memiliki pengaruh paling besar terhadap permintaan ekspor CPO. Wiguna menjabarkan bahwa penambahan 1% dari PDB per kapita negara-negara tersebut diperkirakan dapat meningkatkan ekspor CPO Indonesia sebesar 5,05%.

Hai Teoh (2010) menyampaikan bahwa tantangan teknis dalam aspek ekonomi industri minyak kelapa sawit yang dapat Indonesia hadapi adalah kerenggangan produksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun