Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fritjof Schuon, Sang Metafisikawan Besar Abad Ini

7 Januari 2019   15:10 Diperbarui: 7 Januari 2019   15:23 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Macam-macam rupa manusia

ada yang agung abirawa

putih susu kulitnya

matanya berwarna biru

kelabu dan coklat nenggih

hidungnya seperti palwa


yang ujungnya mancung

itu adalah bangsa manca 

tidak dapat terukur dalam keilmuan

akal budinya nyata.

Serat Jati Kandha..

Bloomington, Indiana di Amerika menjelang musim panas, akhir tahun 80-an. Ada rumah kayu di tengah suasana hutan subtropis; pohon-pohon tegak meninggi,cahaya mentari melewati sela-sela daun menerobos batang-batang yang menjulang ke langit.

Pola saling-saling antara terang dan gelap terbentuk. Sesekali terdengar gemerisik batang pohon yang sudah jatuh di tanah, terinjak kaki dari satu atau beberapa ekor rusa, yang tiba-tiba muncul dari balik pola saling-silang ini. 

Di sebuah ruang rumah kayu itu, ada meja besar dan kursi yang juga terbuat dari kayu dengan beberapa buku berserakan di atas meja. Lembaran-lembaran kertas putih, sebagian lagi sudah terisi dengan tulisan tangan yang padat hampir tanpa spasi dan tanpa margin, dengan jenis tulisan gothic.

Ada wadah tinta dan sedikit cecerannya di atas meja. Ciri-ciri di atas, dari cara pengaturan ruang dan barang-barang yang tampak, menandakan bahwa pemiliknya adalah seorang pecinta segala yang alamiah, sekaligus seorang penulis dan pemikir.

Sesosok tua kisaran usia 70 an bangkit dari kursi. Tangan dan jarinya yang memanjang menjangkau kait dan membuka tirai jendela, membiarkan selarik sinar masuk. Postur tinggi, wajah cenderung tengadah, dengan tangan dan jari jemari yang panjang. Pancaran matanya tajam, dengan kecenderuangan seolah selalu memandang kejauhan, kalau bukan sedang memandang dunia lain.

Dahi yang lebar, janggut dan rambut panjang yang perak, dengan selapis kain jubah merah-coklat tersampir. Jika tidak sibuk menulis, tangannya akan bergerak terus memutar tasbih, melantunkan zikir pada setiap helaan nafas yang dihembuskannya.

Gambaran fisiknya persis menggambarkan sosok bangsa manca, seperti dalam serat Jati Kandha di atas, dengan ketinggian dan kemendalaman keilmuannya, serta akal budi yang terang benderang.

Fritjof Schuon adalah nama pria tersebut. Sebagian yang mengenalnya, akan paham bahwa ia orang besar. Tapi sebagian besar tidak akan mengenalnya sama sekali. Siapa sih yang mengenal dan memahami sebidang ilmu yang bernama "metafisika"? Hampir jarang dan asing.

Bahkan dunia filsafat postmoden pun sudah cukup lama meminggirkan dan menumbangkan metafisika dari pentas perbincangan. Ya, Schuon dikenal dan disebut sebagai metafisikawan besar abad ini. Begitu para orientalis dan pengkaji filsafat agama menamainya.

Schuon lahir di Basel, perbatasaan antara Jerman-Swiss dan Prancis. Ia lahir setahun setelah kakaknya, tepat pada tanggal 18 Juni 1907. Ia mengalami transisi zaman, peralihan dari masa tradisional ke modern. Di masa kecil, ia hidup dalam suasana pedesaan yang tradisional. Suasana yang membentuk karakter dasarnya: introvert-pneumatic.

Ia memiliki seorang ayah professor yang menguasai biola dan musik klasik. Kehidupan di pedesaaan sekitar pegunungan Jura dan persis di tepi Sungai Rhine, membentuk watak pribadi Schuon yang perenung, menyukai musik, puisi dan memiliki kecenderungan spiritual yang kuat.

Ia masih ingat, sedari kecil, di lemari ayahnya terdapat aneka buku-buku klasik, disamping Bhagawad Gita dan Alquran. Keluarganya sendiri adalah penganut katolik yang taat. 

Recollection, anamnesis, pengingatan kembali adalah fitrah jiwa, konsep perenial bahwa manusia sejatinya adalah mahluk langit, celestial creature, yang terjatuh ke dalam dunia jasadiah. Perkara untuk menggapai ingatan jiwa yang terbenam dalam pekatnya lumpur psikis adalah sebuah perjalanan ke dalam diri; nafs yang bathini.

Mujahadah sepanjang hayat di mana kisah drama pertarungan antara diri yang sejati dan hawa nafsu yang menyertainya terjadi; ibarat kisah pertempuran abadi antara kebaikan kejahatan dalam kisah-kisah mitologis.

Perjalanan ke dalam diri ini sejatinya dikondisikan oleh dua hal: kerinduan Ilahiah yang timbul dari rasa Cinta atas keindahan dan keagungan Ilahi; serta rasa terasing dan gamang dalam perangkap jasadiah yang duniawi. Ini adalah karakter psikis dari orang tipe Pneumatic, sepertihalnya Schuon. Maka wajar, sedari kecil Schuon merupakan seorang yang memiliki kepekaan kuat akan keharuman pengetahuan Ilahiah (metafisika). 

Di usia relatif muda; ia sudah bicara dan merindukan kelahiran kembali dirinya secara spiritual. Surat-menyuratnya dengan banyak sahabat, kawan-kawan seperjalanan, maupun suadara-saudaranya tampak menggambarkan peta dan arah jalan hidupnya.

Ada nada kegetiran, ada kegelisahan yang tampak kuat di sana. Artikulasi kalimatnya bernada puitis, sekaligus tampak mistis dan sarat perenungan. Keindahan masa kecil, serta merta harus tergantikan dengan rasa kehilangan dan gambaran nestapa masyarakat dunia. Setelah kehilangan ayahnya di usia 13 tahun, Schuon juga menyaksikan nestapa dunia akibat perang dunia pertama dan kedua; dimana ia malah terlibat dalam kecamuk perang tersebut.

Masa remaja Schuon dihabiskan di Paris, setelah ayahnya wafat. Di kota ini ia menemukan suasana lain yang lebih modern dan hiruk pikuk. Di kota inilah, kemuraman dan kecenderungan intuitifnya disalurkan lewat hobi membaca, menulis dan menggubah puisi, sembari bekerja sebagai desainer pada pabrik tekstil.

Masa itu, Prancis adalah negeri kolonial bagi wilayah-wilayah Afrika Utara, maka kehidupan di Paris menghantarkannya bersinggungan dengan dunia Arab gurun, Islam dan orang-orang muslim. Kecenderungan metafisikanya disalurkan lewat belajar segi-segi ajaran advaita vedanta dari Shankara, memampukan dirinya untuk belajar bahasa sanskrit. Ketertarikan dan persentuhannya dengan Arab, menariknya lebih jauh ke dalam. Ia mulai belajar membaca, menulis dan berbicara bahasa Arab.

Paris 1932, saat itu Schuon tidak bisa lagi menahan hasrat kuat bathinnya. Diceritakan bahwa ia mengalami pengalaman spiritual yang menghantarnya untuk memeluk agama Islam.

Tanpa menyalahkan kekristenan, bagi Schuon secara personal, Kristen mengajarkannya untuk mencintai Tuhan. Tapi ia menginginkan lebih dari itu. Ia menginginkan mengetahui, mengenali dan mengakrabi Tuhan. Islam menyediakan hal tersbebut, di samping kesederhanaan aspek praktis di level spiritual yang sangat personal, bukan lewat institusi kepausan.

Demikian ungkapannya dalam surat menyurat dengan banyak sahabatnya, seputar mengapa ia menjadi muslim. Maka di kota Paris ini, ia mengikrarkan syahadat, sebagai ungkapan resmi menjadi muslim. Setelah itu, secara busana dan ornamen, Schuon lebih sering menggunakan khas Arab, sambil belajar surah-surah Alquran dari seorang Persia, Sayyid Hasan Imami.

***

Kerap kita tanpa sadar berada pada situasi dan waktu yang remeh menurut anggapan kita, tapi besar secara dampak dalam kehidupan. Misalnya, kisah Nabi Musa AS yang tidak sengaja memukul seorang Mesir sampai terbunuh, berdampak jauh dalam jalan hidupnya. Mengubah garis takdir dari seorang putra mahkota menjadi seorang pelarian.

Hari itu, Schuon mengingat betul. Ia menelusuri pelabuhan tua, Vieux Port di Marseille, kota pantai di Prancis. Pelabuhan ini memiliki sejarah panjang di masa kuno, dan juga menjadi basis kolonialisme dan perdagangan bagi Prancis. Ada kesibukan para kelasi, suara-suara camar ditingkahi bunyi kapa-kapal yang merapat. Schuon dan Lucy von Dechend secara tak sengaja menjumpai dan berkenalan dengan pelaut Arab, bernama Haji Suti Muhammad.

Menilik pakaian Schuon, pelaut Arab tersebut langsung menduga bahwa Schuon adalah seorang muslim, hingga tak segan menawarinya untuk berkunjung ke kapalnya dan memperlihatkan ruangan zawiyyah dari kapal tersebut. Zawiyyah adalah ruang kecil, untuk satu atau dua orang, yang digunakan untuk berzikir dan solat.

Dari perkenalan inilah, Schuon mengetahui bahwa Haji Suti adalah seorang pengamal tarekat Alawiyyah, dibawah bimbingan langsung Syaikh Alawi. Haji Suti inilah yang merekomendasikan Schuon untuk mengunjungi Syaikh Alawi di Mostaghanem sebagai pusat Tarekatnya.

Kebetulan saat itu, Schuon berencana menuju Aljazair, khususnya ke Oran, untuk urusan pekerjaan. Maka kesempatan di Aljazair ini, langsung dimanfaatkan Schuon mengunjungi Syaikh Alawi di pusat zawiyyahnya, Mostaghanemm

Perjumpaan pertama dengan Syaikh Alawi sangat berkesan mendalam bagi Schuon. Sosok Syaikh ini mengingatkannya pada sosok Ibrahim Khalilullah AS. Maka tak perlu waktu lama bagi Schuon untuk mendeklarasikan dirinya untuk menjadi murid Syaikh Alawi, dalam maungan tarekat Alawiyyah. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan Nopember 1932.

***

Penempuhan jalan tarekat, tak bisa dilepaskan dari amalan, dzikir dan visi Ilahiah yang sangat personal, yang hadir dalam pengalaman-pengalaman spiritual. Peta perjalanan Schuon, sedari masa belia di Eropa sampai jauh menempuh tempat singgah terakhirnya di Bloomington, Indiana, ditelusuri dan disusun oleh Jean-Baptiste Aymard and Patrick Laude dalam sebuah buku FRITHJOF SCHUON Life and Teachings.

Surat menyurat dengan rekan-rekan seperjalanan suluknya ini memperlihatkan bagaimana kecenderungan-kecenderungan personal Schuon akan pengetahuan-pengetahuan metafisika, artikulasi pengetahuannya dengan bahasan yang sangat personal bercampur dengan pengalaman spiritualnya.

Dalam biografi ini, tampak bahwa Schuon dengan lugas mengatakan ada proses pembimbingan sprititual, yang dalam pengalaman personalnya tampak dalam sosok Nabi Khidir.

Sosok yang dikenal Khidir ini, tampak dalam penglihatan Schuon di tahun 1934-an. Di suatu hari, manakala dirinya sedang berada dalam zawiyyah Syaikh Alawi di Mostaghanem, pada perjamuan makan, seseorang misterius hadir di sana.

Penampakan sosok misterius ini, dengan postur tinggi dan penampakan wajah yang gelap. Sosok ini memakai jubah dengan tuduh kepala berwarna gelap, duduk bersama dalam lingkaran para salik. Mimik wajahnya tampak serius cukup menohok Schuon dengan kekuatan dan keagungannya.

Saat Schuon berdiri, beranjak menuju kamar zawiyyahnya sendiri, sosok misterius ini bangkit mendekatinya, menatapnya jauh ke dalam matanya lalu mencium kening Schuon. Dampaknya, Schuon merasakan getaran pemberkatan yang sangat kuat. Lalu ia melangkah ke laur zawiyyah, dan merasakan daratan dan laut yang demikian luas. Serta merta ia bermimpi tentang sebuah masa depan.

Sosok misterius tadi ikut keluar dari zawiyyah dan berhenti persis di depan dirinya. Mata biru-hitam dari sosok ini membuatnya tersihir, lalu tangan sosok ini mearih tangannya meletakkannya sedemikian rupa dalam posisi pemberkatan, lalu meminta Schuon untuk mengulangi apa yang diucapkannya.

Ia membaca ayat, "Ihdinas Shirotol Mustaqim" sebanyak tiga kali, lalu dalam bahasa Prancis, sosok ini berkata, "Aku telah mengenalmu demikian lama, terima kasih dan selamat tinggal". Serta merta ia berjaan dalam cahaya, menghilang begitu saja, dan menyadarkan Schuon dari visi spiritual ini.

Perjumpaan kedua dengan sosok ini terjadi di kota Oran. Saat itu ia berada di lantai bawah yang digunakan sebagai masjid, tempat sholat. Sehabis sholat, sosok misterius ini masih menggunakan jubah hitam dan dengan turban bewarna gelap, duduk bersebelahan dengan Schuon.

Schuon lantas mencium bahunya, sebagaimana tradisi terhadap tamu. Sosok ini meraih tangannya, menatap ke wajahnya dan berkata,"Bagi dia yang sendirian bersama Rabb-nya, apa pendapat orang-orang tak akan dihiraukannya, ia tak butuh mereka. Ia berada dekat (qarib) dengan Rabbnya di manapun, tanah airnya tak dimanapun, tapi di setiap tempat".

Serta merta Schuon bertanya perihal namanya. Sosok misterius ini tersenyum dan berkata, itu bukan perkara penting, tapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ahmad. Setelah itu, sosok ini berdiri hendak melangkah pergi, Schuon serta merta meraih tangannya, mencium tangannya dan bahunya, dan orang tersebut melakukan hal yang sama. 

Tentunya pengalaman itu benar-benar terjadi di dunia fisik atau tidak, tak ada yang tahu. Seringkali kejadian seperti ini tampak personal. Surat-surat Schuon dengan para sesama pejalan, pada akhirnya kelak membuka kemungkinan bahwa ia adalah sosok Khidir, sang pembimbing spritual bagi para penempuh suluk. Wallahu alam.

***

Sebagaimana kehidupan Syaikh Alawi, dimana secara misi adalah mengenalkan Islam khsususnya dimensi bathinnya ke dunia luar, Schuon juga memiliki kecenderungan sebagai penerus Syaikh Alawi. Dalam khazanah tasawuf, para Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah SAW, dihormati dan dijunjung tinggi. Para wali penerus Rasulullah SAW, dikenali secara spesifik dan spiritual dalam lingkup para Nabi dan Rasul tersebut.

Syaikh Alawi berada dalam garis Isawi---secara spiritual. Ada banyak kisah di mana, bahkan secara penampakan lahirian, Syaikh Alawi nampak seperti sosok Yesus. Ini diceritakan cukup panjang dalam biografi Syaikh Alawi, yang disusun Martin Lings (Abu Bakr Sirajudin): A Sufi Sint of The twentieth Century : Syaikh Ahmad Al-Alawi. Karakter Isawi ini yang menjadikan mulai dari sang Guru syaikh Alawi hingga sang murid, Fritjof Schuon, secara artikulasi pembahasaan sangat menarik para pemeluk Kristiani, mereka yang besar dalam tradisi Barat. 

Seperti halnya tasawuf dalam Islam---sebagai dimensi bathin, ke-ihsan-an, dalam Addin---yang sering banyak disalahphami, demikian juga apa yang menjadi rintisan Schuon. Metafisika dalam pengertian tradisi adalah pengetahuan Ilahiah yang diartikulasikan dalam kerangka nalar dan bahasa pikiran, yang keduanya memiliki keterbatasan.

Apalagi gagasan Schuon yang melintas batas tradisi dan agama, akan lebih sangat disalahpahami. Kendati dalam semua bahasan dan bukunya, Schuon tidak bicara kesamaan agama-agama di level ajaran dan praktik, karena tanpa praktik syariat mustahil ada penggapaian pengetahuan Ilahiah lewat inteleksi--- 'aql jiwa yang dalam tahap lebih lanjut menggunakan dzauq /rasa jiwa. Tapi orang terlanjur salah menyematkan bahwa filsafat perenial kurang lebih sama dengan gerakan New Age yang eklektik, padahal sama sekali bertolak belakang.

Kerangka teoretis Schuon yang lintas batas ini, bahkan lintas terminologi, bisa ditelusuri dan disusur asal muasalnya dalam basis metafisika yang memang Schuon kuasai betul. Yakni basis metafisika ajaran Shankara dalam tradisi Advaita Vedanta, Plato dan Plotinus dalam khazanah Yunani dan Ibnu Arabi dalam khazanah tasawuf Islam. Dimana kesemua basis metafisika ini memiliki karakter khas yang kuat, yakni aspek pen-tauhid-an.

Sebagai juru bicara di dunia Barat, Schuon nampak lebih lembut dalam menelisik khazanah metafisika tradisi Kristen, terutama menyangkut tema-tema sensitif seputar trinitas dan inkarnasi. Ini berbeda dengan salah satu gurunya, Rene Guenon. Hal ini yang kemudian membuat terdapat dua persepektif berbeda dalam tradisi filsafat perenial dalam memandang ke Kristenan yakni perspektif Schuonian dan perspektif Guenonian.

Karakter demikian ini, sering dirujuk Schuon dikaitkan dengan nama muslimnya yang menjadi karakter dasar khasnya; yakni Isa Nuruddin Ahmad. Isa Ibn Maryam adalah nama lain Yesus, yang digunakan oleh orang Islam.

Nuruddin, bermakna cahaya agama, sebuah nama pemberian dari Syaikh Alawi. Sedangkan Ahmad adalah nama lain Muhammad SAW, nama Rasulullah yang dikenal betul dalam khazanah tasawuf. Nama yang seolah menggabungkan dua tradisi Abrahamik besar. 

Pengaruh Schuon terhadap pengkajian tradisi tasawuf Islam di dunia Barat sangatlah signifikan. Ada deretan figur para perintis yang secara langsung dipengaruhi Schuon dalam telaah kajian ilmiah dan filosofisnya. Mulai dari Titus Burchkadt, Martin Lings, Gai Eaton, Syed Hossein Nasr, Victor Danner, Leo Schaya, Jean Louis Michon, Roger Dupaquier, William Chittick, Sachiko Murata, Vincent Cornell dan yang lainnya, adalah para pengkaji Islam dan penelaah tradisi-tradisi metafisika dunia Islam. 

***

Akhir 1990-an, tepatnya antara 1997 atau 1998, Fritjof Schuon berkunjung ke Indonesia---Schuon sendiri wafat tanggal 5 Mei 1998. Tanpa berita gebyar, bahkan saya tak berhasil menelusuri jejak digital kunjungan tokoh ini ke Indonesia. Sepi sekali.

Saat itu saya masih di bangku mahasiswa, kendati memiliki beberapa koleksi Schuon sejak tingkat pertama, saya tak pernah bisa paham apa yang diutarakannya. Tulisannya yang padat, ringkas, sangat assertif dengan bahasan lintas tradisi dan banyak istilah, akan sangat menyulitkan pembaca awam.

Saya baru bisa memahami signifikansi dan keluasan pandang apa yang Schuon tuliskan, setelah terlebih dahulu menggali khazanah metafisika klasik Barat, Timur dan Islam. Baru setelah itu, karya tulisan dan buku-buku karya Schuon relatif bisa dipahami.

Sehingga wajar, kunjungan Schuon ke Indonesa akan sepi peminat. Sesepi khazanah keilmuan yang digelarnya. Keilmuan yang membahas aspek lebih dalam dan khusus dari dunia bathin ajaran agama dan tradisi. Apalagi para penempuh jalan yang ia sendiri lalui: dunia suluk dan tarekat, tampaknya akan selalu sepi.

Ditulis sepanjang perjalanan KA Jakarta-Bandung, Maret 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun