Jogja memang selalu punya cara untuk menciptakan kehangatan, bahkan lewat hal yang sederhana. Salah satu contohnya adalah "Bakaran Neng Mila," sebuah lapak kecil kaki lima yang berada di dekat UIN Sunan Kalijaga. Meskipun sederhana, usaha ini menyajikan ayam bakar dan berbagai macam bakaran lain seperti sosis, ceker, dan tahu, dengan harga yang sangat ramah di kantong mahasiswa---mulai dari Rp5.000 saja.
Lapak ini dikelola oleh dua orang teman, Widy dan Mila. Mereka memulai usaha ini pada awal tahun 2025 dengan semangat dan harapan besar. Sejak awal, usaha mereka langsung mendapat perhatian dari masyarakat sekitar, terutama dari kalangan mahasiswa dan warga lokal yang mencari makanan hangat di malam hari dengan harga terjangkau.
"Pas Ramadan kemarin lumayan rame banget," ujar Widy saat saya temui. Memang, bulan puasa menjadi momen emas bagi banyak pelaku UMKM kuliner. Lapak mereka yang sederhana, hanya menggunakan tenda dan meja kecil, seolah menjadi pusat perhatian karena aroma khas ayam bakar yang menggoda selera.
Namun, bukan berarti perjalanan mereka mulus tanpa kendala. Salah satu tantangan yang diakui oleh mereka adalah soal konsistensi. "Kadang kita nggak buka karena ada urusan pribadi, atau kadang tenaga nggak cukup. Jadi, emang belum bisa tiap hari," kata Mila sambil tersenyum. Hal ini pun dirasakan oleh para pelanggan yang harus "hoki-hokian" saat ingin membeli, karena belum tentu lapak buka setiap hari.
Meski begitu, rasa yang ditawarkan tetap membuat orang kembali. Ayamnya dimasak dengan bumbu yang meresap, lalu dibakar dengan bara api yang masih menggunakan arang. Teknik ini memang membutuhkan waktu lebih lama, tapi menghasilkan aroma yang khas dan tekstur daging yang juicy. Kombinasi ini membuatnya terasa "bakmi jawa"-nya ayam bakar. Tradisional, hangat, dan penuh cita rasa.
Soal harga, Rp5.000 untuk seporsi ayam bakar tentu menjadi nilai jual yang luar biasa, apalagi di tengah harga makanan yang terus naik. Ini yang membuat "Bakaran Neng Mila" menjadi hidden gem di sekitar kampus. Banyak mahasiswa merasa terbantu karena bisa tetap menikmati makanan lezat tanpa harus mengorbankan dompet mereka.
Menariknya, usaha ini tidak memiliki branding yang rumit atau strategi pemasaran digital yang kompleks. Semua berjalan secara organik. Dari mulut ke mulut, unggahan di story Instagram teman, hingga foto yang diambil secara spontan oleh pembeli. Justru, pendekatan inilah yang menjadikan mereka terasa otentik.
UMKM seperti ini menunjukkan wajah asli Jogja. Di tengah geliat bisnis kuliner yang semakin kompetitif, kehadiran "Bakaran Neng Mila" menjadi pengingat bahwa tidak semua harus dimulai dengan modal besar atau sistem bisnis kompleks. Asalkan ada niat, kerja sama yang baik, dan kecintaan terhadap makanan, usaha kecil pun bisa punya tempat di hati masyarakat.
Harapannya, lapak ini bisa berkembang lebih stabil. Mungkin dengan menambah satu atau dua orang staf untuk membantu operasional harian, atau bahkan membuka sistem pre-order agar pelanggan tidak kecewa ketika lapak tutup mendadak. Tapi tentu saja, semua itu kembali pada kesiapan dan kapasitas mereka.
Yang jelas, cerita Widy dan Mila bukan sekadar tentang ayam bakar. Ini tentang semangat teman yang berkolaborasi, tentang bagaimana hal sederhana bisa menjadi sesuatu yang berarti. Juga tentang keberanian mencoba, meski tahu bahwa tidak semua akan berjalan sempurna.
Bagi saya pribadi, Bakaran Neng Mila adalah salah satu pengalaman kuliner yang tidak cuma menyenangkan di lidah, tapi juga hangat di hati. Semoga ke depannya, usaha ini bisa terus tumbuh dan tetap menjadi tempat pulang bagi para perut lapar di malam hari.