My Dreams Are Just Dreams : Katanya Aku Berbakat, Tapi Tak Boleh Bermimpi
Ada satu rasa yang tak bisa dijelaskan ketika kamu tahu kamu punya bakat, kamu punya mimpi, dan kamu mencintainya sepenuh hati... tetapi orang terdekatmu justru jadi tembok paling tebal yang menghadang. Mereka bukan orang asing. Mereka adalah ayah, ibu, atau keluarga yang sejak kecil kamu harapkan akan jadi pendukung pertama ketika kamu berkata, "Aku ingin jadi seniman." Namun, kenyataannya, mimpi itu tak mendapat pelukan. Justru ditertawakan, ditekan, atau dianggap tidak serius.
Mereka tak jahat. Tapi mereka tak mengerti. Dunia yang mereka kenal dulu hanya memuji satu jalan aman: kerja kantoran, jadi PNS, atau pekerjaan mapan yang punya nama jelas di mata masyarakat. Maka ketika kamu menyebut ingin jadi penulis, ilustrator, komikus, atau penyanyi, mereka mengira kamu sedang berhalusinasi. Atau hanya sekedar hobi yang belum dewasa.
Dan pada akhirnya, kamu pun mulai bertanya pada dirimu sendiri:
Apakah mimpi ini benar-benar pantas untuk diperjuangkan? Atau cukup jadi bunga tidur yang layu saat pagi?
Saat Mimpi Terasa Haram bagi Anak dari Keluarga "Realistis"
Kamu tidak salah. Tapi kamu juga bukan satu-satunya yang merasa seperti hidup di sangkar yang dibuat oleh harapan keluarga. Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah seringkali dibesarkan dengan prinsip "cari yang pasti-pasti saja." Mereka tidak membenci seni, tapi takut kamu akan miskin karena itu. Mereka tidak benci kamu menulis, tapi takut kamu kelaparan karenanya. Jadi, ketakutan itu dijadikan alasan untuk mematikan potensi.
Orang tuamu mungkin pernah merelakan mimpi mereka demi bertahan hidup. Maka, ketika kamu ingin mengejar sesuatu yang menurut mereka "tidak menjamin masa depan", yang mereka lihat bukan bakatmu, tapi potensi gagalmu. Sayangnya, itu membuat mereka menjadi pagar, bukan penyokong.
Dan hal paling menyedihkan adalah...
Kamu mulai menyerap ketakutan itu. Kamu mulai percaya bahwa kamu tidak cukup hebat. Padahal kamu hanya tidak cukup didukung.