Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Demi Anak: Saat Rumah Tangga Dipertahankan, Namun Mental Anak yang Jadi Korban

22 Mei 2025   14:27 Diperbarui: 22 Mei 2025   19:09 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali kita berpikir, perceraian akan lebih menyakitkan bagi anak. Padahal, yang paling menyakitkan bukan perceraian itu sendiri, melainkan ketidakmampuan orang tua untuk mengelola emosi dan menciptakan suasana rumah yang aman.

Anak-anak bisa mengerti perpisahan, selama mereka tahu bahwa cinta orang tuanya tetap utuh untuk mereka. Namun, anak-anak akan kebingungan jika tinggal di rumah yang penuh teriakan tapi berpura-pura bahagia di depan orang lain. Mereka akan belajar hidup dalam kebingungan emosional dan ini jauh lebih berbahaya dibandingkan status hubungan orang tuanya.

Marah ke Pasangan, Tapi Anak yang Jadi Sasaran

Salah satu bahaya terbesar dari "bertahan demi anak" padahal hati sudah penuh luka adalah munculnya alih target kemarahan. Ibu yang kecewa pada suami, bisa jadi tanpa sadar lebih mudah marah pada anak. Ayah yang merasa tidak dihargai oleh istri, bisa jadi lebih mudah membentak anak. Anak menjadi tempat paling mudah untuk melampiaskan frustasi, karena ia tak bisa melawan, tak bisa protes, dan selalu memaafkan.

Padahal, anak yang terus-menerus dijadikan tempat pelampiasan akan kehilangan rasa aman. Ia tidak tahu apakah besok akan dipeluk atau dibentak. Ia tak mengerti mengapa ibu selalu murung atau mengapa ayah selalu diam. Ia bingung harus bersikap bagaimana.

Menjadi Dewasa Itu Tentang Mengelola Luka, Bukan Mewariskannya

Setiap pasangan pasti punya luka. Tapi menjadi orang tua berarti belajar untuk tidak menurunkannya ke anak. Anak tidak pernah minta dilahirkan dalam rumah yang retak. Anak tidak memilih jadi penonton konflik. Dan anak tidak layak menanggung beban yang bahkan orang dewasa pun tak sanggup menanggungnya.

Maka, jika kamu sedang berada di titik pernikahan yang rumit, coba refleksikan ulang: apakah bertahan ini benar-benar demi anak, atau demi menghindari rasa bersalah? Apakah anak benar-benar bahagia di rumah ini, atau hanya bertahan karena tidak punya pilihan?

Solusi yang Tidak Selalu Hitam-Putih

Tulisan ini bukan untuk mendorong perceraian, tapi mengajak untuk jujur. Tidak semua rumah tangga harus diakhiri, tapi semua rumah tangga seharusnya sehat. Kalau kamu bisa memperbaiki hubungan, lakukan. Pergi ke konselor pernikahan, perbaiki komunikasi, belajarlah untuk saling memahami lagi. Tapi jika upaya-upaya itu tidak membawa perbaikan dan justru memperburuk suasana untuk anak, maka beranilah mengambil langkah terbaik termasuk jika itu artinya berpisah dengan cara baik.

Karena yang paling penting bukan bentuk utuhnya rumah tangga, tapi utuhnya hati anak saat tumbuh dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun