"Demi Anak" : Saat Rumah Tangga Dipertahankan, Namun Mental Anak yang Jadi Korban
Banyak pasangan yang sedang berada di ujung tanduk pernikahan akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan, dengan alasan yang terdengar mulia, "demi anak". Frasa ini terdengar penuh pengorbanan, seolah menjadi benteng terakhir untuk tetap menjaga utuhnya sebuah keluarga. Namun, benarkah keputusan bertahan itu memang benar-benar demi anak? Atau justru tanpa disadari, anaklah yang akhirnya menanggung luka paling dalam?
Ketika Rumah Tangga Tidak Lagi Sehat
Tidak semua konflik dalam rumah tangga berujung pada perceraian. Ada yang memilih menyelesaikan, ada juga yang memilih diam. Dalam banyak kasus, pasangan tetap tinggal dalam satu atap meski hubungan mereka sudah dipenuhi pertengkaran, dingin, atau bahkan saling mengabaikan. Alasannya? Anak.
Namun sayangnya, sering kali yang dimaksud "demi anak" hanya sebatas fisik, anak bisa tetap tinggal bersama kedua orang tuanya, tidak terpisah, tidak kehilangan figur ayah atau ibu. Tapi, secara emosional, justru anak yang paling sering dibiarkan berjuang sendiri.
Anak Jadi Korban yang Tak Disadari
Di tengah ketegangan hubungan ayah dan ibu, anak sering kali jadi pelampiasan. Bukan secara fisik, tetapi dalam bentuk sikap yang tidak disadari, bentakan, tuntutan berlebihan, minim pelukan, atau bahkan tak pernah ditanya "kamu bahagia nggak?"
Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh ketegangan emosional akan belajar dua hal, diam atau marah. Ia bisa tumbuh jadi pribadi yang takut salah, atau sebaliknya, jadi anak yang mudah meledak karena tak pernah tahu bagaimana caranya merasa aman.
Orang tua yang saling menyakiti sering lupa bahwa anak menyerap semuanya. Anak melihat bagaimana ibunya diperlakukan. Anak mendengar bagaimana ayahnya dibentak. Anak merasakan ketegangan yang mungkin tidak pernah diucapkan. Juga luka-luka kecil itu, seiring waktu, bisa membentuk trauma panjang yang sulit diurai.
Anak Tidak Butuh Rumah yang "Utuh" Secara Fisik, Tapi Lingkungan yang Sehat Secara Emosional