Dalam banyak kasus, puber kedua membuat orang tua kehilangan arah dan mengabaikan kebutuhan emosional anak.
Anak-anak bukan hanya korban perpisahan, tetapi juga korban rasa tidak aman. Mereka mulai mempertanyakan cinta, kepercayaan, dan makna keluarga. Yang lebih menyedihkan, banyak anak mulai menyalahkan diri sendiri atas hancurnya rumah tangga orang tuanya.
Apa yang bisa lebih menjijikkan daripada orang dewasa yang rela membakar seluruh rasa aman anak-anaknya demi sebuah "petualangan cinta baru"?
-
Menghancurkan Kepercayaan Pasangan Tanpa Alasan yang Layak
Banyak pasangan merasa sangat terluka saat mengetahui bahwa orang yang mereka cintai dan percaya selama bertahun-tahun, kini mengalihkan hatinya ke orang lain.
Sering kali, mereka bahkan tidak diberi penjelasan yang layak. Yang satu merasa "bosan", yang lain merasa "tidak dihargai". Padahal, rumah tangga bukan tempat untuk menyerah diam-diam.
Jika memang ada masalah, komunikasikan dan perbaiki. Jika merasa tidak cocok, bicarakan. Tapi jangan tiba-tiba jatuh cinta pada orang lain dan menyalahkan situasi.
Menyalahkan perasaan sebagai pembenaran adalah hal yang sangat egois, bahkan menjijikkan jika dilakukan oleh orang yang seharusnya sudah dewasa secara emosi.
Merasa Jadi Korban Padahal Pelaku
Salah satu ciri khas dari pelaku puber kedua yang menyimpang adalah merasa dirinya korban, korban istri/suami yang dingin, korban kesepian, korban rutinitas.
Padahal dalam rumah tangga, dua pihak punya tanggung jawab memperbaiki relasi. Merasa jadi korban justru menjadi cara paling pengecut untuk menghindari tanggung jawab. Di titik ini, jatuh cinta bukan lagi tentang keindahan, tapi tentang pencitraan semu dan pelarian dari kenyataan.