Kedua, karena tidak semua orang punya sumber daya untuk memenuhi standar tersebut baik secara finansial, waktu, atau bahkan secara genetik.
Namun, media sosial tidak hanya mempengaruhi mereka yang "menikmati visual", tapi juga mereka yang dinikmati secara visual. Perempuan atau laki-laki yang tak sesuai standar akan merasa tertekan, insecure, bahkan merasa tidak layak dicintai hanya karena penampilan.
Ini menciptakan ketimpangan dalam hubungan satu pihak menuntut, pihak lain terus berusaha menjadi "cukup" padahal cinta seharusnya berangkat dari penerimaan, bukan perbandingan.
Lingkungan dan Budaya: Membentuk Pikiran yang Dangkal tentang Cinta
Selain media, lingkungan tempat kita tumbuh pun berkontribusi besar dalam membentuk persepsi tentang kecantikan. Mulai dari obrolan ringan teman-teman, candaan keluarga, hingga tontonan di TV, banyak sekali yang tanpa sadar mengakar pada penilaian fisik.
Contohnya, seberapa sering kita mendengar komentar seperti:
"Kok kamu gendutan sih? Nanti susah cari jodoh."
"Kalo dia cantik sih, pasti banyak yang mau."
"Cowok itu harus tinggi, biar kelihatan gagah."
Ucapan-ucapan seperti ini seolah menanamkan bahwa nilai seseorang tergantung pada bentuk tubuh dan wajahnya. Lebih parahnya lagi, standar ini digunakan sebagai alat ukur kelayakan pasangan.
Akibatnya, banyak orang menginginkan pasangan yang "sempurna secara visual", padahal dirinya sendiri tidak mencerminkan tuntutan itu.