Dampak Penilaian Terhadap Dinamika Sosial
Salah satu dampak sosial yang paling terlihat adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait ruang publik. Di beberapa wilayah, kelompok urban farming berhasil mengadvokasi penggunaan lahan kosong atau terlantar untuk diubah menjadi kebun produktif, yang tidak hanya menyediakan makanan tetapi juga ruang rekreasi dan edukasi. Proses ini sering kali melibatkan kolaborasi antara warga, pemerintah lokal, dan organisasi non-profit, menciptakan model tata kelola kota yang lebih partisipatif. Contohnya, di Detroit, AS, gerakan urban farming yang dipimpin oleh komunitas Afrika-Amerika telah membantu membangun kembali kepercayaan sosial setelah kota tersebut mengalami penurunan ekonomi yang drastis.Â
Selain itu, pertanian urban juga berperan dalam memperkuat identitas lokal dan kebanggaan komunitas. Di banyak kota, kebun urban menjadi simbol keberlanjutan dan kemandirian, yang sering kali dikaitkan dengan gerakan "kembali ke alam" atau hidup sederhana. Aktivitas seperti panen bersama, festival kebun, atau pasar komunitas tidak hanya memperkuat ikatan sosial tetapi juga menciptakan narasi baru tentang bagaimana sebuah kota dapat berkembang secara berkelanjutan. Di MedellÃn, Kolombia, misalnya, proyek kebun urban telah menjadi bagian dari strategi pembangunan sosial untuk mengurangi kekerasan dan meningkatkan kualitas hidup di lingkungan miskin. Meskipun demikian, potensi pertanian urban untuk memperbaiki dinamika sosial tetap besar. Praktik ini tidak hanya menyatukan orang-orang di sekitar tujuan bersama tetapi juga menciptakan peluang untuk pendidikan dan pemberdayaan. Program-program pelatihan pertanian urban sering kali ditujukan kepada kelompok rentan seperti pengangguran, kaum muda, atau lansia, memberikan mereka keterampilan baru dan rasa pencapaian. Di Tokyo, misalnya, kebun urban di atap gedung perkantoran menjadi tempat karyawan melepas stres sekaligus belajar tentang pertanian, menciptakan interaksi sosial yang tidak terjadi dalam rutinitas kerja biasa.
KesimpulanÂ
Pertanian urban muncul sebagai respons terhadap tantangan perkotaan modern, menawarkan pendekatan yang secara fundamental berbeda dari pertanian tradisional, namun tetap mempertahankan nilai-nilai inti yang sama. Jika pertanian tradisional mengandalkan lahan luas, pola musiman, dan pengetahuan turun-temurun, pertanian urban justru memanfaatkan ruang terbatas dengan teknologi seperti hidroponik dan vertikultur. Perbedaan ini bukanlah pertentangan, melainkan bentuk adaptasi terhadap konteks yang berbeda di satu sisi pertanian tradisional menjaga ketahanan pangan skala makro, sementara urban farming fokus pada solusi mikro untuk masyarakat kota.Â
Yang menarik, meski menggunakan metode modern, pertanian urban ternyata mempertahankan banyak nilai esensial pertanian tradisional. Praktik ini menghidupkan kembali koneksi antara manusia dengan alam yang sering terputus di perkotaan, mencerminkan filosofi "menjaga tanah" yang dianut petani tradisional. Kebun-kebun komunitas di kota pun mengadopsi semangat gotong royong yang mirip dengan tradisi mapalus di Sulawesi atau subak di Bali. Pada intinya, keduanya sama-sama berjuang untuk mencapai ketahanan pangan, meski dengan skala dan pelaku yang berbeda. Namun, perkembangan pertanian urban juga menuai kritik. Banyak yang memandangnya sebagai romantisisasi kehidupan agraris yang tidak mampu menggantikan produktivitas pertanian tradisional. Sistem hidroponik yang tergantung pada listrik dan nutrisi kimia, misalnya, justru bertolak belakang dengan prinsip kemandirian pertanian organik tradisional. Ada pula kekhawatiran bahwa urban farming terjebak dalam narasi komersialisasi, sementara pertanian tradisional tetap menjadi tulang punggung pangan bagi masyarakat marginal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI