Pertanian urban, atau urban farming, telah menjadi fenomena global yang semakin populer di tengah pesatnya urbanisasi dan tantangan lingkungan. Konsep ini mengacu pada praktik budidaya tanaman, ternak, atau ikan di dalam dan sekitar wilayah perkotaan, baik dalam skala kecil seperti kebun rumah tangga maupun skala besar seperti atap bangunan komersial atau lahan kosong. Di masa sekarang, pertanian urban tidak hanya sekadar tren, melainkan sebuah solusi inovatif yang menjawab masalah ketahanan pangan, perubahan iklim, dan kesenjangan sosial di perkotaan. Kota-kota modern sendiridapat menghadapi berbagai masalah kompleks, seperti polusi, defisit ruang hijau, ketergantungan pada pasokan pangan dari daerah pedesaan, serta ketimpangan ekonomi. Pertanian urban muncul sebagai respons terhadap tantangan ini dengan memanfaatkan lahan terbatas secara efisien. Teknik-teknik seperti hidroponik, akuaponik, dan vertikultur memungkinkan masyarakat menanam sayuran dan buah tanpa memerlukan tanah luas. Selain itu, penggunaan atap gedung, balkon, atau dinding kosong untuk bercocok tanam semakin umum di kota-kota seperti Tokyo, Singapura, dan New York.
Pertanian urban tidak hanya sekadar aktivitas bercocok tanam di kota, tetapi juga memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian lokal. Dengan memanfaatkan lahan terbatas secara efisien, praktik ini menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah. Dalam jangka panjang, urban farming dapat menjadi penggerak ekonomi kreatif yang berkelanjutan bagi wilayah perkotaan. Salah satu kontribusi terbesar pertanian urban terhadap ekonomi lokal adalah penciptaan peluang usaha baru. Banyak warga kota yang mengubah hobi berkebun menjadi sumber penghasilan, baik dengan menjual hasil panen langsung ke konsumen maupun mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, seperti makanan organik, minuman herbal, atau kosmetik alami. Pasar-pasar petani (farmers' market) yang menjual produk segar dari kebun urban semakin populer, mendorong perputaran uang di tingkat komunitas. Selain itu, usaha mikro dan kecil seperti penyewaan alat hidroponik, pelatihan pertanian perkotaan, dan jasa desain kebun vertikal turut tumbuh seiring meningkatnya minat masyarakat.
Dampak Penilaian Terhadap Sisi Ekonomi Lokal Masyarakat
Ekonomi lokal di berbagai wilayah saat ini menghadapi dinamika yang kompleks, dipengaruhi oleh faktor global maupun domestik, seperti pandemi, inflasi, perubahan pola konsumsi, dan perkembangan teknologi. Di satu sisi, terdapat sektor-sektor yang menunjukkan ketahanan dan bahkan pertumbuhan positif, namun di sisi lain, banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang masih berjuang untuk pulih dari berbagai guncangan ekonomi. Secara umum, ekonomi lokal saat ini dapat dinilai melalui beberapa aspek utama, yaitu ketahanan sektor riil, daya beli masyarakat, peran UMKM, serta dampak digitalisasi dan keberlanjutan.Â
Pertama, ketahanan sektor riil sangat bervariasi tergantung pada jenis industri dan lokasi. Daerah dengan basis pertanian, perkebunan, atau perikanan cenderung lebih stabil karena permintaan akan bahan pangan tetap tinggi. Namun, kenaikan harga pupuk, biaya logistik, dan perubahan iklim menjadi tantangan serius. Sementara itu, sektor pariwisata dan kerajinan yang sempat terpuruk selama pandemi mulai menunjukkan pemulihan, meskipun belum sepenuhnya kembali ke level pra-pandemi. Beberapa wilayah yang mengembangkan ekonomi kreatif, seperti desa wisata atau pusat kuliner lokal, berhasil menarik kembali minat wisatawan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kedua, daya beli masyarakat masih menjadi isu kritis. Inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan pangan global telah mengurangi kemampuan konsumsi rumah tangga, terutama di kalangan menengah ke bawah. Upah yang stagnan sementara harga kebutuhan pokok terus naik membuat banyak keluarga harus mengencangkan ikat pinggang. Di sisi lain, kelompok masyarakat dengan akses ke teknologi dan sektor digital cenderung lebih tahan terhadap gejolak ekonomi, karena mereka bisa memanfaatkan peluang usaha online atau pekerjaan fleksibel.
Ketiga, peran UMKM sebagai tulang punggung ekonomi lokal semakin diakui, tetapi masih banyak kendala yang menghambat pertumbuhannya. UMKM menyumbang lebih dari 60% PDB di banyak daerah dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun, akses terhadap modal, pemasaran, dan teknologi masih terbatas. Program bantuan pemerintah seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan pelatihan digitalisasi membantu sebagian pelaku usaha, tetapi banyak UKM yang kesulitan bersaing dengan produk impor atau platform e-commerce besar. Selain itu, ketergantungan pada pasar tradisional yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi juga memengaruhi omzet para pedagang kecil.
Keempat, digitalisasi dan ekonomi hijau mulai mengubah lanskap ekonomi lokal. Transformasi digital memungkinkan usaha kecil menjangkau pasar lebih luas melalui e-commerce dan media sosial. Namun, kesenjangan digital antara kota dan desa masih terlihat, di mana banyak daerah terpencil kurang terhubung dengan infrastruktur internet memadai. Sementara itu, isu keberlanjutan mulai memengaruhi preferensi konsumen, mendorong permintaan akan produk ramah lingkungan dan energi terbarukan. Daerah yang mampu mengintegrasikan prinsip ekonomi hijau-seperti pengelolaan sampah berkelanjutan atau pariwisata ekologis-memiliki peluang lebih besar untuk berkembang.
Dampak Penilaian Terhadap Lingkungan
Salah satu kontribusi terbesar pertanian urban terhadap lingkungan adalah kemampuannya untuk mengurangi jejak karbon. Dengan menanam makanan di lokasi yang dekat dengan konsumen, praktik ini memangkas jarak distribusi pangan yang biasanya membutuhkan transportasi jarak jauh. Hasilnya, emisi gas rumah kaca dari aktivitas logistik berkurang secara signifikan. Selain itu, tanaman di perkotaan berperan sebagai penyerap karbon dioksida alami, membantu mitigasi perubahan iklim. Pertanian urban juga meningkatkan kualitas udara di kota-kota yang sering dilanda polusi. Tanaman hijau dapat menangkap partikel debu dan polutan seperti nitrogen oksida serta sulfur dioksida, sehingga udara menjadi lebih bersih. Kebun vertikal dan atap hijau (green roofs) telah terbukti efektif dalam menurunkan suhu perkotaan, mengurangi efek pulau panas (urban heat island) yang sering terjadi di kawasan padat bangunan.Â
Di sisi lain, pertanian urban mendorong pengelolaan limbah yang lebih baik. Banyak komunitas urban farming mengadopsi sistem kompos untuk mengubah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk alami. Praktik ini tidak hanya mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA, tetapi juga menciptakan siklus nutrisi yang berkelanjutan. Beberapa proyek pertanian urban bahkan menggabungkan akuaponik, di mana limbah ikan digunakan sebagai nutrisi bagi tanaman, menciptakan ekosistem simbiosis yang efisien.
Dampak Penilaian Terhadap Dinamika Sosial
Salah satu dampak sosial yang paling terlihat adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait ruang publik. Di beberapa wilayah, kelompok urban farming berhasil mengadvokasi penggunaan lahan kosong atau terlantar untuk diubah menjadi kebun produktif, yang tidak hanya menyediakan makanan tetapi juga ruang rekreasi dan edukasi. Proses ini sering kali melibatkan kolaborasi antara warga, pemerintah lokal, dan organisasi non-profit, menciptakan model tata kelola kota yang lebih partisipatif. Contohnya, di Detroit, AS, gerakan urban farming yang dipimpin oleh komunitas Afrika-Amerika telah membantu membangun kembali kepercayaan sosial setelah kota tersebut mengalami penurunan ekonomi yang drastis.Â
Selain itu, pertanian urban juga berperan dalam memperkuat identitas lokal dan kebanggaan komunitas. Di banyak kota, kebun urban menjadi simbol keberlanjutan dan kemandirian, yang sering kali dikaitkan dengan gerakan "kembali ke alam" atau hidup sederhana. Aktivitas seperti panen bersama, festival kebun, atau pasar komunitas tidak hanya memperkuat ikatan sosial tetapi juga menciptakan narasi baru tentang bagaimana sebuah kota dapat berkembang secara berkelanjutan. Di MedellÃn, Kolombia, misalnya, proyek kebun urban telah menjadi bagian dari strategi pembangunan sosial untuk mengurangi kekerasan dan meningkatkan kualitas hidup di lingkungan miskin. Meskipun demikian, potensi pertanian urban untuk memperbaiki dinamika sosial tetap besar. Praktik ini tidak hanya menyatukan orang-orang di sekitar tujuan bersama tetapi juga menciptakan peluang untuk pendidikan dan pemberdayaan. Program-program pelatihan pertanian urban sering kali ditujukan kepada kelompok rentan seperti pengangguran, kaum muda, atau lansia, memberikan mereka keterampilan baru dan rasa pencapaian. Di Tokyo, misalnya, kebun urban di atap gedung perkantoran menjadi tempat karyawan melepas stres sekaligus belajar tentang pertanian, menciptakan interaksi sosial yang tidak terjadi dalam rutinitas kerja biasa.
KesimpulanÂ
Pertanian urban muncul sebagai respons terhadap tantangan perkotaan modern, menawarkan pendekatan yang secara fundamental berbeda dari pertanian tradisional, namun tetap mempertahankan nilai-nilai inti yang sama. Jika pertanian tradisional mengandalkan lahan luas, pola musiman, dan pengetahuan turun-temurun, pertanian urban justru memanfaatkan ruang terbatas dengan teknologi seperti hidroponik dan vertikultur. Perbedaan ini bukanlah pertentangan, melainkan bentuk adaptasi terhadap konteks yang berbeda di satu sisi pertanian tradisional menjaga ketahanan pangan skala makro, sementara urban farming fokus pada solusi mikro untuk masyarakat kota.Â
Yang menarik, meski menggunakan metode modern, pertanian urban ternyata mempertahankan banyak nilai esensial pertanian tradisional. Praktik ini menghidupkan kembali koneksi antara manusia dengan alam yang sering terputus di perkotaan, mencerminkan filosofi "menjaga tanah" yang dianut petani tradisional. Kebun-kebun komunitas di kota pun mengadopsi semangat gotong royong yang mirip dengan tradisi mapalus di Sulawesi atau subak di Bali. Pada intinya, keduanya sama-sama berjuang untuk mencapai ketahanan pangan, meski dengan skala dan pelaku yang berbeda. Namun, perkembangan pertanian urban juga menuai kritik. Banyak yang memandangnya sebagai romantisisasi kehidupan agraris yang tidak mampu menggantikan produktivitas pertanian tradisional. Sistem hidroponik yang tergantung pada listrik dan nutrisi kimia, misalnya, justru bertolak belakang dengan prinsip kemandirian pertanian organik tradisional. Ada pula kekhawatiran bahwa urban farming terjebak dalam narasi komersialisasi, sementara pertanian tradisional tetap menjadi tulang punggung pangan bagi masyarakat marginal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI