Mohon tunggu...
Hilda Nuril Fauziah
Hilda Nuril Fauziah Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sengketa Lahan Program Transmigrasi Mesuji Lampung : Pemerataan Pembangunan dan Pengentasan Kemiskinan

1 Maret 2025   07:29 Diperbarui: 1 Maret 2025   07:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Program transmigrasi merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan, pemerataan pembangunan antarwilayah, dan mengurangi tekanan populasi di daerah padat penduduk. Kabupaten Mesuji di Lampung adalah salah satu wilayah yang menjadi pusat implementasi program ini, mengingat luasnya lahan yang dianggap potensial untuk pengembangan agribisnis dan pemukiman baru bagi para transmigran. Namun, banyak masalah di lapangan sering menghalangi program yang bertujuan mulia ini, terutama terkait konflik lahan yang melibatkan transmigran, masyarakat lokal, dan bisnis swasta yang beroperasi di daerah tersebut.

            Dengan pendekatan yang lebih rinci dan melibatkan keterangan empiris dari lapangan, artikel ini menguraikan penyebab utama, dampak, dan potensi penyelesaian sengketa lahan yang terjadi di Mesuji Lampung sebagai bagian dari program transmigrasi untuk pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Latar Belakang Program Transmigrasi di Mesuji

            Kabupaten Mesuji di Lampung terletak di perbatasan antara Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Wilayah ini dikenal dengan sumber daya alam berupa lahan yang luas dan hutan produksi. Pemerintah mengidentifikasi Mesuji sebagai lokasi potensial untuk program transmigrasi sejak akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Tujuannya adalah:

1. Mendorong distribusi populasi dari daerah padat seperti Pulau Jawa ke wilayah Sumatera.

2. Meningkatkan produktivitas lahan melalui pemanfaatan lahan tidur menjadi lahan pertanian.

3. Membantu pemerataan akses terhadap fasilitas publik melalui pembangunan pemukiman terpadu (KTM -- Kota Terpadu Mandiri).

            Namun, sejak awal, program transmigrasi Mesuji menghadapi sejumlah masalah. Ini termasuk tata guna lahan yang tidak sesuai, klaim lahan antara transmigran dan masyarakat lokal, dan perusahaan swasta yang menggunakan lahan dalam jumlah besar untuk perkebunan.

Penyebab Sengketa Lahan di Mesuji

            Dari keterangan lapangan, terdapat beberapa penyebab utama yang mendasari sengketa lahan di Mesuji:

1. Tumpang Tindih Kepemilikan dan Klaim Hak Adat

           Masyarakat adat yang telah lama tinggal di daerah hutan atau lahan yang sekarang menjadi bagian dari program transmigrasi sering kali merasa hak-haknya tidak diakui. Transmigran biasanya diberi sertifikat atas tanah yang diklaim oleh masyarakat adat sebagai tanah ulayat. Misalnya, orang-orang di Desa Kagungan Dalam mengatakan bahwa tanah adat mereka telah diambil alih menjadi bagian dari proyek transmigrasi tanpa memberi tahu mereka terlebih dahulu.

2. Perluasan Perkebunan oleh Perusahaan Swasta

            Perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola oleh perusahaan swasta semakin berkembang di Mesuji selain transmigrasi. Perusahaan menerima izin untuk menggunakan Hutan Register 45 di Mesuji sebagai hutan produksi dari pemerintah melalui Kementerian Kehutanan. Namun, beberapa lahan yang digunakan perusahaan tersebut dianggap sebagai lahan garapan oleh masyarakat lokal dan transmigran. Karena batas-batas wilayah seringkali tidak jelas di lapangan, konflik ini menjadi semakin kompleks.

3. Kurangnya Kejelasan Status Lahan

            Sebagian besar lahan di Mesuji adalah hutan yang tidak jelas statusnya, antara hutan negara, hutan produksi, atau lahan yang dapat dikonversi. Seringkali, perusahaan, masyarakat lokal, dan transmigran memiliki interpretasi yang berbeda tentang penggunaan lahan, yang menyebabkan klaim kepemilikan yang berbeda.

4. Ketimpangan Distribusi Sumber Daya

            Banyak transmigran melaporkan bahwa lahan yang mereka terima tidak subur atau sulit diakses karena kekurangan infrastruktur, membuat mereka tidak dapat mengembangkannya. Di sisi lain, masyarakat lokal sering kali merasa bahwa pembagian lahan lebih menguntungkan transmigran daripada mereka sendiri.

5. Minimnya Konsultasi Masyarakat Lokal

            Salah satu masalah utama dengan pelaksanaan program transmigrasi di Mesuji adalah bahwa masyarakat lokal tidak terlibat secara signifikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program. Warga Desa Sungai Sodong mengatakan dalam wawancara lapangan bahwa mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengungkapkan keinginan atau ketidaksetujuan mereka tentang pembagian lahan untuk program transmigrasi.

Dampak Sengketa Lahan                   

            Sengketa lahan yang berlangsung selama bertahun-tahun di Mesuji menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan pihak-pihak yang terkait:

1. Ketegangan Sosial dan Konflik Fisik

            Salah satu peristiwa yang paling mencolok adalah bentrokan yang terjadi pada tahun 2011 di kawasan Register 45 yang melibatkan komunitas lokal, transmigran, dan staf keamanan perusahaan. Selain menyebabkan kematian dan luka-luka, insiden ini menciptakan ketakutan di masyarakat.

2. Penurunan Produktivitas Pertanian

           Konflik lahan menghambat para transmigran dan masyarakat lokal untuk mengelola lahan secara optimal. Karena konflik lahan, banyak lahan dibiarkan kosong atau tidak dikelola karena ketidakpastian hukum dan ancaman konflik, sehingga tujuan awal program transmigrasi untuk meningkatkan ketahanan pangan tidak tercapai.

3. Keterbatasan Investasi Infrastruktur

            Selain itu, konflik lahan menghalangi pembangunan infrastruktur di wilayah transmigrasi. Pembangunan jalan, irigasi, dan fasilitas lainnya terhambat karena investor menolak masuk ke daerah yang dianggap rawan konflik.

4. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi

            Kondisi ekonomi masyarakat yang sudah rentan diperburuk oleh konflik lahan. Banyak keluarga transmigran menjadi miskin karena tidak dapat memanfaatkan lahan yang diberikan, dan masyarakat lokal merasa terpinggirkan oleh program yang seharusnya membantu mereka.

Keterangan di Lapangan

            Beberapa data dan kesaksian dari lapangan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konflik di Mesuji:

1. Kesaksian Transmigran

           Di Desa Wonosari, seorang transmigran mengatakan mereka diberi lahan seluas dua hektare, tetapi sebagian besar lahan tidak subur dan tidak memiliki sistem irigasi. "Kami harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup karena hasil dari tanah ini tidak cukup untuk makan sehari-hari," katanya.

2. Pengakuan Masyarakat Adat

             Masyarakat lokal Desa Talang Batu mengklaim bahwa tanah yang mereka garap secara turun-temurun secara tidak sengaja diklaim ke dalam rencana transmigrasi. "Kami tidak anti dengan program transmigrasi, tetapi kami ingin hak atas tanah kami diakui," tegas mereka.

3. Pernyataan Pemerintah Daerah

            Seorang pejabat pemerintah Kabupaten Mesuji mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media lokal bahwa salah satu alasan utama sengketa lahan adalah kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa tata kelola lahan perlu diperbaiki.

4. Data Konflik di Register 45

            Lebih dari 1.000 keluarga terlibat dalam konflik lahan di kawasan Register 45, menurut data LSM yang bekerja untuk advokasi di Mesuji. Mereka menyatakan bahwa konflik ini telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun tanpa penyelesaian yang memadai.

Upaya Penyelesaian Konflik Lahan                   

            Untuk menyelesaikan sengketa lahan di Mesuji, berbagai langkah telah dilakukan, meskipun hasilnya masih jauh dari memuaskan:

1.. Mediasi dan Pendekatan Dialogis

            Pemerintah daerah dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah berusaha untuk mencapai kesepakatan antara perusahaan, komunitas transmigran, dan pemerintah daerah berulang kali. Namun, seringkali tidak mungkin mencapai kesepakatan karena perbedaan kepentingan yang tajam.

2. Reformasi Agraria

           Pemerintah telah berusaha untuk memberikan lahan kepada komunitas yang terlibat konflik sebagai bagian dari inisiatif reformasi agraria nasional. Namun, proses ini menghadapi hambatan birokrasi dan perlawanan dari perusahaan.

3. Penguatan Kelembagaan

            Pemerintah berencana memperkuat Badan Pertanahan Nasional (BPN) di tingkat daerah untuk menangani konflik lahan dengan lebih cepat dan efisien. Selain itu, sedang diupayakan untuk membentuk forum lintas sektor.

Kesimpulan

            Sengketa lahan dalam program transmigrasi di Mesuji, Lampung, menunjukkan kompleksitas kebijakan pembangunan Indonesia. Program ini menghadapi banyak tantangan saat dijalankan, meskipun tujuannya adalah untuk mengurangi kemiskinan dan mendistribusikan penduduk secara lebih merata. Konflik lahan yang melibatkan perusahaan, masyarakat adat, dan transmigran menunjukkan betapa pentingnya transparansi, koordinasi, dan partisipasi masyarakat secara aktif di setiap tahap program.
            Pemerintah dan pihak terkait dapat menyelesaikan ketidaksepakatan ini dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, program transmigrasi dapat benar-benar menjadi alat untuk pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun