"Lembar SPT"
Di meja kayu tua, tukang tambal ban duduk bersahaja,
Mengisi SPT dengan pena tua, tanpa jeda.
Angka demi angka ia jujurkan seadanya,
Tak banyak, tapi penuh doa agar jalan depan rumah tak lagi berlubang parah adanya.
Ia tak tahu apa itu tax planning,
Tak mengerti transfer pricing atau perusahaan cangkang asing.
Baginya, SPT adalah surat negara yang wajib ditunaikan,
Meski berarti mengurangi uang belanja untuk anak dan istri yang setia menanti di warung harapan.
Lain cerita di lantai lima puluh dua,
Gedung tinggi dengan kaca biru dan ruang rapat tertutup suara.
Di sana, lembar SPT bukan soal kejujuran,
Melainkan seni menyembunyikan keuntungan dengan "kepatuhan" yang penuh penghindaran.
Bukan pemilik yang mengisi---melainkan tim ahli dan konsultan,
Dengan pasal-pasal sebagai palet dan angka sebagai lukisan.
Laba dikaburkan, beban diperbesar,
Dan negara? Hanya melihat, kadang pura-pura sadar.
Rakyat kecil dicecar karena selisih seribu rupiah,
Sementara si kaya dipuji karena "telah menyerahkan laporan yang rapi dan bersih."
Tak ada audit, tak ada sanksi---hanya senyuman basa-basi,
Dan laporan pajak dengan angka yang dipoles seperti puisi.
Oh SPT, lembar suci negara yang berubah jadi layar sandiwara,
Yang jujur ditekan, yang cerdik dilepas tanpa cela.
Apakah keadilan hanya disusun di atas grafik dan retorika?
Sementara praktiknya dikuasai mereka yang bisa beli celah logika?
Kami rakyat tak menuntut perlakuan istimewa,
Kami hanya ingin hukum berdiri di kaki yang sama.
Agar setiap lembar SPT, bukan lagi alat tipu daya,
Tapi cermin jujur dari bangsa yang benar-benar percaya pada keadilan negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI