Mohon tunggu...
HIKMAL AKBAR
HIKMAL AKBAR Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

43224110041-S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berpikir Positif Tentang Kehidupan

13 Oktober 2025   21:18 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:08 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPT PROF APOLLO 17
PPT PROF APOLLO 17


William James: Revolusi Pragmatis dalam Berpikir Positif melalui Keberanian untuk Percaya
William James, filsuf dan psikolog Amerika, membawa revolusi dalam pemikiran positif melalui esainya The Will to Believe. Di tengah dunia yang menuntut bukti untuk setiap keyakinan, James datang membawa pemberontakan yang halus tapi mengguncang: "Percayalah bahwa hidup ini layak dijalani, dan keyakinanmu akan membantu mewujudkan kenyataan itu" (Martin, 2023).
James melangkah lebih jauh dari Stoikisme yang mengajarkan ketenangan dengan menerima takdir dan Nietzsche yang mengajakan keberanian untuk mencintai takdir. Ia berkata: "Takdir bukan untuk diterima atau dicintai. Takdir bisa diciptakan." Bagi James, pikiran bukan sekadar cermin yang memantulkan dunia, melainkan kuas yang melukisnya. Keyakinan adalah tindakan kreatif; ia bukan hasil dari kebenaran, tetapi sumber dari kebenaran itu sendiri (Martin, 2023).

PPT PROF APOLLO 18
PPT PROF APOLLO 18


Pemikiran James tentang "keberanian untuk percaya" (the will to believe) ini merepresentasikan apa yang dapat disebut sebagai "ledakan epistemologis" dalam diskursus berpikir positif. Teorinya bukan versi lembut dari Stoa atau Amor Fati melainkan sebuah terobosan radikal dalam memahami hubungan antara keyakinan dan realitas. James berargumen bahwa dalam banyak situasi hidup terutama yang melibatkan pilihan-pilihan eksistensial kita tidak memiliki kemewahan untuk menunggu bukti yang cukup sebelum mengambil keputusan. Dalam situasi seperti ini, keyakinan yang datang sebelum bukti justru dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya apa yang kita yakini.
Inti pemikirannya dalam The Will to Believe adalah bahwa manusia tak harus menunggu kepastian untuk bertindak. Justru dalam keberangan bertindak tanpa kepastian, dunia mulai berubah. Kita tidak hidup dengan menunggu bukti kita hidup dengan menciptakan bukti. Sebagai contoh, bayangkan dua orang pasien dengan penyakit yang sama. Yang pertama berkata, "Saya tidak akan sembuh." Yang kedua berkata, "Saya bisa sembuh." Secara medis, kondisi mereka sama tapi hasil akhirnya bisa berbeda. Dalam kerangka James, keyakinan bukan ilusi psikologis, tetapi daya kausal ia memengaruhi perilaku, keputusan, dan bahkan proses biologis seseorang.

PPT PROF APOLLO 19
PPT PROF APOLLO 19

Berbeda dengan Stoikisme yang menekankan penerimaan takdir dan Nietzsche yang mendorong "Amor Fati" (mencintai penderitaan), filsuf William James menyajikan perspektif yang berfokus pada kekuatan keyakinan internal, diringkas dalam seruannya: "Bangun badai mu sendiri." James mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan di tengah kesulitan, tetapi tentang menulis ulang kenyataan melalui keyakinan tulus. Daripada sekadar berpikir positif, James menekankan berpikir produktif secara eksistensial, di mana kita diminta untuk percaya dahulu bahwa hidup masih berarti—bahkan sebelum semua bukti ada—dan keyakinan mendasar ini pada akhirnya akan menciptakan makna dan keajaiban baru. Bagi James, keajaiban adalah sesuatu yang kita bangun dari dalam diri, dimulai dari keputusan paling berani manusia: untuk percaya.


PPT PROF APOLLO 20
PPT PROF APOLLO 20

Matriks perbandingan tersebut menyoroti perbedaan fundamental antara pandangan hidup Stoikisme, Nietzsche, dan William James. Jika Stoikisme berfokus pada ketahanan batin dengan sikap menerima realitas apa adanya dan mengendalikan reaksi untuk mencapai ketenangan (ataraxia)—seperti yang diungkapkan Seneca, "Kita lebih banyak menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan"—dan Nietzsche mengajarkan afirmasi terhadap kehidupan dengan sikap mencintai realitas melalui "Amor Fati" ("Katakan ya pada kehidupan, bahkan pada penderitaannya"), maka William James mengambil langkah yang berbeda. James menekankan tindakan kreatif dari keyakinan dengan pandangan bahwa dunia itu cair dan dapat diubah lewat pikiran, di mana kunci kebahagiaan adalah keberanian untuk percaya sebelum semua bukti ada, ditegaskan dalam kutipan khasnya, "Percayalah, dan keyakinanmu akan membantu menciptakan fakta." Singkatnya, Stoikisme dan Nietzsche mengajarkan penerimaan aktif terhadap dunia yang sudah ada, sementara James berani mempercayai dan membentuk kemungkinan dunia yang belum ada.

PPT PROF APOLLO 21
PPT PROF APOLLO 21

Inti pemikiran William James tentang "Realitas yang Diciptakan oleh Keyakinan" adalah bahwa keyakinan bukanlah sekadar ilusi psikologis, melainkan memiliki daya kausal yang memengaruhi perilaku, keputusan, dan bahkan proses biologis seseorang, seperti pada contoh dua pasien dengan penyakit yang sama yang memiliki keyakinan berbeda tentang kesembuhan mereka. James menentang sikap pasrah atau mencintai penderitaan, sebaliknya ia menantang kita untuk secara aktif mengubah kemungkinan menjadi kenyataan dengan kekuatan keyakinan. Prinsipnya yang paling berani adalah: "Kamu tidak menunggu hidup menjadi baik baru percaya—kamu percaya dulu, dan barulah hidup mulai menjadi baik," menekankan bahwa kepercayaan adalah bagian dari proses penciptaan realitas yang diinginkan, bukan hanya akibatnya.

PPT PROF APOLLO 22
PPT PROF APOLLO 22


Albert Ellis: Rasionalitas sebagai Fondasi Kesehatan Emosional dalam Pendekatan Terapeutik
Albert Ellis mengembangkan pendekatan yang lebih praktis dan terapeutik melalui Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), yang merepresentasikan konkretisasi dari prinsip-prinsip filosofis tentang berpikir positif ke dalam ranah psikologi klinis modern. Ellis percaya bahwa banyak penderitaan emosional manusia berasal dari pikiran irasional: keyakinan yang tidak realistis, berlebihan, atau "harus-isme" (contohnya: "Saya harus selalu disukai!", "Hidup harus adil!") (Ellis & Bernard, 2006).
Pendekatan REBT yang dikembangkan Ellis berdiri di atas fondasi epistemologis yang jelas: bahwa manusia bukanlah korban pasif dari peristiwa-peristiwa kehidupan, melainkan aktor aktif yang melalui cara berpikirnya sendiri menciptakan pengalaman emosionalnya. Dalam model ABC yang menjadi ciri khas REBT, A (Activating Event) adalah peristiwa eksternal, B (Belief) adalah sistem keyakinan yang digunakan untuk menafsirkan peristiwa tersebut, dan C (Consequence) adalah konsekuensi emosional dan behavioral yang dihasilkan. Yang revolusioner dari model ini adalah penekanannya bahwa bukan A yang langsung menyebabkan C, melainkan B keyakinan dan interpretasi kita yang menjadi mediator utama antara peristiwa dan respons emosional (Ellis & Bernard, 2006; Martin, 2023).

PPT PROF APOLLO 23
PPT PROF APOLLO 23

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun