Epictetus: Filsafat Pembebasan melalui Penerimaan dari Perspektif Mantan Budak
Epictetus, filsuf Stoik yang lahir sebagai budak, mengembangkan filosofi yang menekankan kebebasan batin melalui penerimaan, sebuah pandangan yang mungkin dibentuk oleh pengalaman hidupnya dalam perbudakan. Ajarannya yang tercatat dalam The Discourses dan The Enchiridion menekankan bahwa penderitaan dan kebahagiaan manusia tidak bergantung pada keadaan luar, tetapi pada cara kita memandang dan menilai keadaan tersebut (Epictetus & Lebell, 1995).
Latar belakang Epictetus sebagai budak yang kemudian menjadi guru filsafat terkemuka memberikan kredibilitas khusus pada ajarannya tentang kebebasan batin. Pengalaman pribadinya membuktikan bahwa bahkan dalam keadaan yang paling membelenggu sekalipun perbudakan seseorang masih dapat mempertahankan kebebasan internal melalui kontrol atas pikiran dan persepsinya. Pemikiran utama Epictetus berpusat pada pembedaan antara dua jenis hal: hal yang berada dalam kendali kita (things within our control) pikiran, penilaian, dan tindakan kita sendiri; dan hal yang tidak berada dalam kendali kita (things outside our control) tubuh, reputasi, kekayaan, cuaca, dan opini orang lain. Menurutnya, kebahagiaan sejati tercapai bila kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menerima dengan tenang hal-hal yang tidak bisa kita ubah (Epictetus & Lebell, 1995; Martin, 2023).
Kutipan terkenalnya, "It's not what happens to you, but how you react to it that matters," menggambarkan inti Stoikisme: kendali diri dan kebebasan batin. Epictetus percaya bahwa peristiwa eksternal tidak memiliki kekuatan untuk membuat kita menderita kecuali jika kita sendiri mengizinkannya melalui penilaian negatif. Dalam konteks modern, ajarannya sangat relevan untuk menghadapi tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian, dengan mengajarkan untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap masalah dan menjaga kebebasan batin di tengah situasi apa pun.
Pemikiran Epictetus tentang dikotomi kendali ini memiliki implikasi praktis yang mendalam untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam menghadapi kritik atau penolakan, alih-alih bereaksi dengan defensif atau marah, seseorang dapat menerapkan prinsip Epictetus dengan memfokuskan energi pada aspek-aspek yang dapat dikontrol seperti memperbaiki kinerja, belajar dari kesalahan, atau mengembangkan keterampilan baru sambil menerima bahwa opini orang lain berada di luar kendali langsungnya. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi penderitaan emosional tetapi juga meningkatkan efektivitas dalam menghadapi tantangan.
Epictetus juga menekankan pentingnya latihan mental yang konsisten (askesis) untuk menguatkan kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip stoik dalam kehidupan sehari-hari. Ia menggambarkan filosofi bukan sebagai teori abstrak melainkan sebagai alat praktis yang harus terus-menerus diasah dan diterapkan. Dalam salah satu ajaran yang tercatat dalam The Enchiridion, ia menyarankan untuk memulai hari dengan mengingatkan diri sendiri tentang dikotomi kendali ini, sehingga ketika menghadapi situasi sulit, seseorang sudah memiliki kerangka berpikir yang tepat untuk merespons secara bijaksana.
Friedrich Nietzsche: Afirmasi Kehidupan Radikal dan Cinta terhadap Takdir
Friedrich Nietzsche membawa pendekatan yang lebih radikal dan transformatif terhadap konsep berpikir positif melalui filosofi Will to Power, Ja Sagen, dan Amor Fati. Konsep The Will to Power (Der Wille zur Macht) bukan sekadar keinginan untuk berkuasa secara politik atau fisik, melainkan dorongan dasar kehidupan untuk berkembang, mencipta, dan menegaskan eksistensi diri (Pinnacle et al., 2013; Nietzsche & Teaching, 2022).
Pemahaman Nietzsche tentang Will to Power sebagai energi fundamental kehidupan merepresentasikan pergeseran paradigma dari konsep berpikir positif tradisional. Bagi Nietzsche, kekuatan kehidupan ini memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk dari dorongan fisik yang paling dasar hingga aspirasi spiritual yang paling tinggi. Dalam konteks manusia, Will to Power tercermin dalam keinginan untuk mengatasi keterbatasan diri, menciptakan nilai-nilai baru, dan membentuk makna eksistensial dalam dunia yang pada dasarnya absurd dan tanpa makna intrinsik.
Dari The Will to Power lahirlah sikap Ja Sagen (bahasa Jerman, berarti "to say yes" atau "menyatakan ya"). Sikap ini berarti menerima kehidupan sepenuhnya termasuk penderitaan, kegagalan, dan kekacauan tanpa menolaknya atau membaginya secara dikotomis antara baik dan buruk. Nietzsche menolak cara berpikir yang membagi dunia secara hitam-putih dan sebaliknya mengajak manusia untuk mengafirmasi kehidupan sebagaimana adanya (Bejahung des Lebens) menerima realitas secara utuh tanpa menghakimi (Nietzsche & Teaching, 2022).
Pemikiran Nietzsche tentang Ja Sagen ini memiliki resonansi dengan filosofi Demokritos tentang atom segala sesuatu tersusun atas partikel-partikel dasar yang tidak terbagi. Bagi Nietzsche, seperti atom yang tidak bisa dipecah, kehidupan juga harus diterima sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak dibelah menjadi "bagian baik" dan "bagian buruk". Dengan demikian, Nietzsche menolak pembagian moral tradisional dan menegaskan bahwa kehidupan dengan semua suka dan dukanya harus diterima sebagai satu realitas tunggal yang tidak terpisahkan.
Bentuk tertinggi dari Ja Sagen adalah konsep Amor Fati (mencintai takdir). Nietzsche tidak hanya mengajak kita untuk menerima nasib, tetapi mencintai setiap bagian dari kehidupan bahkan penderitaan dan kesedihan sebagai sesuatu yang indah dan bermakna. Seperti yang dituliskannya: "Amor Fati: may this be my love! ... Not merely to bear what is necessary, still less to conceal it but to love it." Dalam contoh seseorang yang kehilangan pekerjaan, sikap Amor Fati akan mendorongnya untuk berkata: "Ini bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan mencintai pengalaman ini sebagaimana aku mencintai keberhasilanku. Dari sini aku akan belajar dan bangkit."
Pemikiran Nietzsche tentang Amor Fati ini merepresentasikan bentuk berpikir positif tingkat tinggi bukan sekadar menerima tapi aktif mencintai semua aspek kehidupan dalam bentuk dan nama apapun, termasuk semua penderitaan dan kesulitan. Pendekatan ini mengubah penderitaan dari sesuatu yang harus dihindari menjadi bahan bakar untuk pertumbuhan dan penciptaan diri. Bagi Nietzsche, individu yang mencapai tingkat Amor Fati ini menjadi "manusia super" (bermensch) seseorang yang mampu menciptakan nilai-nilai sendiri dan mengafirmasi kehidupan secara total.
Konsep filosofis "Amor Fati" (cinta pada takdir) adalah sikap penegasan hidup (affirmation of life) yang mendorong seseorang untuk menerima dan mencintai setiap pengalaman hidupnya, termasuk penderitaan dan kegagalan, sebagai bagian integral dari perjalanan hidupnya. Contohnya, ketika seseorang tiba-tiba kehilangan pekerjaan, alih-alih hancur atau menyalahkan nasib (Sikap Biasa), sikap "Amor Fati" dan "Ja Sagen" (mengatakan "ya" pada kehidupan) membuatnya berkata, "Ini bagian dari perjalanan hidupku, aku akan mencintai pengalaman ini dan bangkit." Dengan demikian, ia tidak menyerah pada penderitaan, melainkan menjadikannya kekuatan kreatif untuk belajar dan menjadi kuat, bebas, dan autentik, sebagaimana yang Nietzsche inginkan: mengatakan, "Ya, ini hidupku—dengan seluruh suka dan dukanya—dan aku mencintainya sepenuhnya."