Mohon tunggu...
Hikmah Komariah
Hikmah Komariah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang suka mengeluh atas berbagai ketidakidealan dan kerusakan yang ada, mencoba berpikir out of the box dan berusaha menemukan ide yang mencerahkan untuk dunia saat ini dan dunia dimasa mendatang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kota Tangerang: Proses Pencarian Sebuah Identitas

5 November 2016   20:36 Diperbarui: 5 November 2016   20:41 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

The “Earth” without “Art” is just eh. “Earth” tanpa “Art” hanya akan menjadi eh. Kata yang tidak sungguh-sungguh memiliki makna. Sepintas, kalimat ini terdengar seperti guyonan. Bikin kita ketawa ngakak atau setidak-tidaknya tersenyum geli. Tapi sebenarnya, kalimat ini merupakan kritik bagi mereka yang kelewat menyepelekan peran seni dalam kehidupan masyarakat. Sementara, seni bisa dipandang sebagai sebuah ciri khas. Sebuah identitas bagi masyarakat tertentu. Masyarakat tanpa seni didalamnya mungkin akan disebut-sebut sebagai masyarakat tanpa identitas.

Saya teringat kota kelahiran saya. Kota yang dulu menjadi bagian dari Provinsi Jawa barat. Lalu kini menjadi bagian dari Provinsi Banten, setelah para jawara disana memutuskan untuk memisahkan diri. Kota Tangerang. Disanalah saya lahir dan dibesarkan. Tepatnya, saya teringat kota Tangerang dan kehampaan didalamnya.

“Kota jika tidak dibangun tanpa seni budaya akan terasa hampa.”Begitu kira-kira yang dikatakan Jokowi ketika dulu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jokowi saat itu ingin menghidupkan budaya betawi yang eksistensinya mulai menurun perlahan-lahan. Meski mulai menurun, semua orang mengakui betawi adalah ciri khas Jakarta. Biar bagaimanapun, Jakarta masih punya betawi, pikir saya. Sementara kota saya sendiri, apa yang dimiliki kota Tangerang?

Beberapa tahun terakhir, saya banyak menghabiskan waktu di Surabaya. Pulang ke Tangerang untuk liburan selama satu atau dua minggu lalu kembali lagi ke Surabaya. Saat begitu, ada saja teman yang minta dibawakan oleh-oleh. Saya tidak marah atau kesal. Bagaimanapun saya bukan orang yang kelewat pelit. 

Meski harus saya akui, saya malas membawakan oleh-oleh karena menambah berat bawaan saya selama perjalanan. Tapi sejujurnya, saya bingung mau membawa oleh-oleh apa. Sesuatu khas dari kota kelahiran saya yang tidak ditemui di kota lain. Awalnya saya terpikir membawa air dari sungai Cisadane sebagai oleh-oleh. Itu adalah sesuatu yang khas dari kota Tangerang! Karena sungai ini hanya terdapat di kota Tangerang, tidak ditemukan di kota lainnya. Tidak salah, kan? Tapi saya malah disebut aneh. Rupanya yang diminta sebagai oleh-oleh adalah makanan, tak peduli itu makanan khas atau bukan.

Saya terus menanyakan apa ciri khas kota Tangerang setelah itu pada diri sendiri. Dan sialnya, saya sempat menjawab pertanyaan itu dengan sebuah statement mengerikan: ciri khas kota Tangerang adalah tidak punya ciri khas. Sungguh mengerikan. Tapi dipikir-pikir, ini ada benarnya juga. Kita tidak bisa mengatakan suku asli mana yang mendiami kota yang memiliki banyak pabrik itu. Saya asli dari Tangerang. Lahir disana, besar disana, dan hampir semua keluarga saya tinggal disana. 

Tapi saya tidak bisa mengidentifikasi diri dengan suku manapun. Suku jawa? Bukan. Saya tidak bisa bicara lancar dengan bahasa jawa. Perlu waktu cukup lama bagi saya untuk mengerti “mboten” dengan “ora” itu sebenarnya memiliki arti yang sama. Suku sunda? Bukan juga. Meski bisa berbicara dengan bahasa sunda, saya akan merasa sangat bodoh saat sok “nyunda” dengan mereka yang berasal dari Bandung dan sekitarnya. 

Suku betawi? Ah, bukan juga. Saya lebih nyaman bicara dan menulis dengan sapaan saya ketimbang aye. Nah, mengidentifikasikan diri dengan suku-suku yang dekat saja tidak mampu, apalagi suku yang aslinya ada di luar Pulau Jawa? Jadi, rasanya tak perlu saya teruskan dengan suku-suku lain di luar Pulau Jawa.

Sulit untuk menyepakati suku asli kota itu, saya pikir. Dulu di Tangerang hanya beretnis Sunda, katanya. Ada penduduk asli dan pendatang dari Banten. Bogor dan Priangan. Tapi kemudian sejak tahun 1526, orang-orang beretnis jawa mulai berdatangan. Disusul oleh etnis-etnis lainnya juga sampai hari ini. 

Dan kini, barangkali hampir semua suku di nusantara ada di kota Tangerang. Jawa, Sunda, Betawi, Tionghoa, Batak, dst. Pada akhirnya, semuanya diposisikan sejajar. Pribumi atau pendatang sama saja. Ini mungkin bentuk sebuah toleransi yang tinggi. Mereka yang mendiami kota Benteng itu tidak ada yang sok berkuasa. Tapi sayangnya, keberagaman ini dibiarkan begitu saja. Pada akhirnya, kota Tangerang seperti kehilangan sebuah identitas.

Seni dan budaya tidak berkembang disana. Berbeda dengan Kota Yogyakarta yang kental sekali seni dan budayanya. Festival-festival budaya menjadi primadona disana. Di Tangerang? Festival-festival macam itu jarang sekali ditemukan. Tidak menjadi primadona. Saya ingat waktu kecil saya sempat diajak melihat Festival Perahu Naga. Itu semacam balap perahu di Sungai Cisadane. Perahunya pun dihias sedemikian rupa menjadi perahu naga. Barongsai yang berwujud dalam perahu. 

Saya sangat semangat melihatnya waktu itu. Itu mungkin menjadi satu-satunya festival yang bisa ditemukan di kota Tangerang saat itu. Tapi, yang bersemangat dengan festival ini sepertinya tidak banyak. Hemat saya, festival ini dianggap kurang merepresentasikan keberagaman di kota Tangerang. Festival Perahu Naga atau Barongsai adalah milik mereka yang beretnis Tionghoa, bukan milik masyarakat kota Tangerang.

Kota Tangerang menjadi sepi. Pada titik ini, saya membenarkan apa yang dikatakan Jokowi: kota yang dibangun tanpa seni dan budaya akan hampa. Seakan tak ada yang menarik dari kota ini. Padahal, sungguh saya suka sekali melihat tarian barongsai. Tapi, kehampaan itu pun masih tetap dapat saya rasakan bahkan ketika saya tinggal berkilo-kilometer jauhnya.

Kota Tangerang Saat Ini…

Dan kini, kehampaan yang saya rasakan tentang kota kelahiran saya mulai berkurang. Apa pasal? Pemkot Tangerang sekarang sudah lebih giat membangkitkan budaya masyarakat yang heterogen itu. Dilihat darimana? Benteng Art Festival! Pemkot mengadakan festival itu beberapa bulan lalu. Berbagai macam kesenian ada disana. Lenong, wayang kulit, gambang kromong, barong battle, tari kolosal, debus, dll.

Beberapa waktu belakangan, festival-festival macam ini memang sering diselenggarakan oleh pemkot. Sejak kepemimpinan walikota Arief Wismansyah. Festival Cisadane yang sudah muncul saat Wahidin Halim masih memimpin (Lomba balap perahu naga ada dalam Festival Cisadane ini), Festival Al-Adzom untuk memperingati tahun baru Islam yang diselenggarakan di kawasan Masjid Raya Al-Adzom (Masjid kebanggaan masyarakat kota Tangerang dan sempat dijadikan lokasi syuting sinetron. 

Judul sinetronnya apa saya tidak tahu. Tidak penting soalnya.), Festival Tangerang Bersih, Festival Tangerang Kreatif, sampai Benteng Art Festival yang namanya terdengar keren. Yang terakhir adalah Car Free Night! Wisata kuliner dengan sajian budaya di sepanjang kawasan Pasar Lama. Untuk pertama kalinya, masyarakat kota Tangerang tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk merasakan Car Free Night.

Satu hal lagi yang menyenangkan. Saya sudah bisa menjawab dengan bangga apabila ada yang bertanya apa tari daerah dari kota Tangerang. Tari Lenggang Cisadane. Akan saya jawab begitu. Nah, pada akhirnya seniman-seniman yang ada di kota ini menelurkan sebuah tarian daerah. Tarian ini memang baru berumur 3 tahun, tapi saya tetap girang karenanya. Tarian ini merupakan akulturasi budaya-budaya yang ada di Kota Tangerang. Dibawakan oleh 13 orang yang mencirikan jumlah kecamatan di Kota Tangerang. Khas Tangerang! Kota Tangerang kini memiliki ciri khas!

Kota Tangerang sudah mulai bangkit dari keterpurukan identitas. Kota ini mulai menunjukkan geliatnya dalam proses pencarian sebuah identitas. Saya katakan masih dalam proses pencarian identitas, karena bagi saya, identitas bukan sesuatu yang instan. Tidak akan terbentuk hanya dalam waktu dua atau tiga tahun. Apalagi untuk sebuah kota.

 Tapi, ini cukup menjadi penanda sebuah keinginan kuat untuk memperbaiki diri. Setidaknya, proses pencarian identitas di kota kelahiran saya itu mampu mengusir kehampaan yang saya rasakan tiap kali pulang ke rumah. Dan sekarang ini, bolehlah saya berbangga hati dengan kota kelahiran saya itu.

#kodenusantara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun