Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hilangnya Absen Kelas

22 November 2018   20:31 Diperbarui: 23 November 2018   00:29 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti hari-hari  pak fauzi satpam sekolah selalu membuka gerbang sekolah bila pagi hari dan akan menutupnya saat  siswa siswi meulai melaksanakan apel pagi.

aku selalu memperhatikan pak fauzi dari tempat aku berdiri, berbaris mengikuti barisan teman-teman di depan.

Aku sudah janjian dengan jumardi teman satu sekolah dulu saat masih di SMP, untuk bertemu di depan jalan sebelah utara sekolah. Jumardi selalu menjadi teman saat membolos alias tidak mengikuti pelajaran.

"sepertinya hari ini tidak bisa keluar sampai jam istirahat" dalam hati aku menggumam seraya mata sekali-kali memandangi kepala sekolah yang sedang berdiri di depan siswa-siswi menyampaikan ceramahnya yang setiap hari terus di ulang-ulangnya.

Terkadang sampai gumpalan busa berwarna putih muncul di sudut bibir, melihat hal itu sebagian anak-anak di barisan paling belakang pasti kecekikan sambil mengolok-ngolok melihat kepala sekolah.

Semenjak aku mengenal permainan game Play Station, aku menjadi kecanduan, keasikan bermain bola, takken, motor bike, sampai jacki can.

Aku keluar dari rumah memakai seragam, tetapi aku belajar di rental permainan play satation.

Begitulah aku setiap harinya, sampai-sampai jumlah bolos  di absen kelas tak terhitung lagi, aku kini menjadi buronan ibu Fatima, setiap hari kata Fitra ibu selalu mengecek aku di kelas.

"mungkin ibu penasaran pada ku" lelocon aku pada fitra siang itu di rumah makan saat jam istirahat sekolah.

"bila sampai ketemu  habis kamu" fitra memperingatkan sekaligus menukuti-nakuti .

Hari ini untung ibu fatima tidak masuk, berarti aku selamat dari pengawasannya.  dia seperti singa  sedang mengawasi mangsanya, menunggu kelengahan dari sang korban.

Sebenarnya kemalasan aku untuk masuk di ruang kelas, mengikuti pelajaran bukan tanpa sebab. semenjak duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama, Aku  berkeinginan masuk di sekolah menengah kejuruan bila lulus nanti.

tetapi keinginan itu harus kalah dengan kemauan orang tua yang lebih menginginkan aku masuk sekolah Agama.

Aku sudah merasa bosan melihat bangunan-bangunan sekolah itu, saat pertama kali masuk belajar di hari pertama masuk kelas.

 Bangunan sekolah serta isinya sudah aku hafal apalagi dengan guru-gurunya, tak lain karena sekolah ini satu lingkungan dengan sekolah aku saat  di madrasah Tsanawiyah.

Sekolah agama yang aku masuk adalah di bawah lembaga pesantren dengan berbagai jenjang pendidikan mulai dari PAUD sampai SMA.

Semuanya berada dalam satu lingkungan pesantren, tidak heran bila aku merasa jenuh dengan tempat ini. Aku membutuhkan lingkungan baru, teman baru.

Tiba-tiba saja ada suara ketukan pintu dari depan saat aku sedang asik di dalam rumah. Dahri teman sekelas aku datang, ia menatap seraya tersenyum, nampak kedua giginya yang besar di depan.

"ada apa ri kok ke rumah" aku coba mencari tahu maksud kedatangannya ke rumah.

"kamu di cari ibu fatimah" ujar dahri dengan wajahnya terlihat serius menatap .

"jangan menakuti-nakuti aku ri, aku tahu maksudmu datang kesini" aku mencoba menebak-nebak sanubarinya. Tapi kali ini ia tampak serius, membuat aku sedikit cemas.

Ia bukan datang untuk menakuti-nakuti. Selang berdiri lama dan menatap aku, dahri kemudian mengambil sesuatu dari saku kemeja.

"ini ada surat cinta untuk kamu" ia langsung sodorkan kertas dari sakunya itu di depan wajah ku.

"habis kamu kali ini Farid" dahri langsung meyembur hawa ketakutan pada wajah ku.

Ketika selesai membaca surat panggilan buat orang tua dari ibu fatmawati aku langsung memasukan ke dalam saku celana, Takut ketahuan ibu dan ayah.

Untung mereka tidak berada di rumah, sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ibu aku menjadi guru di pulau seberang, ia pulang setiap akhir pekan.

Sedangkan ayah sibuk menjajakan dagangannya di pasar, meskipun ia sering pulang ke rumah saat siang hari, ia tak tahu tentang anaknya suka membolos.

 Perhatiannya pada anak-anaknya tidak begitu besar di bandingakan ibu. Kadang ketika ia mendapati aku di rumah, aku beralasan hari ini guru sedang rapat jadi pulangnya cepat.

Pagi itu Suasana kelas menjadi riuh saat Prita ketua kelas tiba-tiba megatakan absen kelas hilang, prita mengatakan absen itu di taruh di atas mejanya saat hari kemarin. Satuh sekolah pun ikut gempar mendengar hilangnya absen kelas.

Berbeda dengan anak-anak yang rajin masuk kelas, bagi anak-anak yang malas masuk belajar, mendengar hilangya absen kelas menjadi mukjijat bagi mereka. Otomatis wali kelas kebingungan dalam menilai siswa.

Seperti sekolah pada umumnya kehadiran menjadi ukuran siswa-siswi itu mempunyai sikap baik atau tidak dan menentukan naik kelas tidaknya siswa.

Hari itu saat masuk kelas, semua mata tertumbuk padaku. Aku terlihat  seperti seorang kriminal yang baru saja melakukan kejahatan besar, pengganggu stabilitas.

"di mana kamu simpan absen kelas" kata-kata  prita melaju kencang ke arah aku saat mencoba membetulkan tempat duduk.

"apa maksud kamu ngomong ke aku seperti itu Rita" mendengar kata-katany tiba-tiba telingaku kepanasan

"siapa lagi di kelas ini yang ngambil abseb kelas selain kamu" ujar rita

"gimana bisa kamu nuduh aku rita" kini aku ingin tau maksud Rita.

"semua anak-anak di dalam kelas ini rajin masuk hanya kamu saja yang malas masuk" sahutnya seraya melanjutkan.

"wajar kan?"  kini rita mencoba mendesak aku mengakui.

"gimana ceritanya orang yang  ga masuk di kelas bisa ngambil absen" kini aku ingin membuatnya kaku di depan anak-anak.

Mendengar apa yang aku sampaikan, rita langsung membalikan badanya ke depan. Di tempat duduk Aku kini bertambah bingung kenapa hanya aku yang di curigai atas hilangnya absen kelas.

 ada dua teman aku, Azis dan Rianto juga malas dalam kelas ini. Tetapi mereka luput dari perhatian anak-anak.

 "Mungkin karena kemalasan aku tidak di tolerir lagi sehingga wajar anak-anak di kelas mencurigai" aku berguma dalam hati.

Semenjak kejadian hilangnya absen kelas, tak ada satu pun anak-anak di kelas tau siapa yang mengambil.

Kini aku hanya tersenyum-senyum sendiri di pinggir jendela, seraya menatap menara Eifel  dari The Paris Coffe mengingat masa sekolah dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun