Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teror dan Meneror untuk Kepatuhan Kolektif?

7 April 2021   21:33 Diperbarui: 7 April 2021   21:35 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Teror dan meneror  dalam arti KBBI bahwa teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. meneror artinya berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut: misal mereka ~ rakyat dengan melakukan penculikan dan penangkapan. Sedangkan arti Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Teror memang bukan sekedar membuat suasana ketakutan dan kengerian. Tapi, kebijakan dan tindakan buruk baik aparatur negara maupun warga negara yang buruk dapat menciptakan kengerian sekaligus ketakutan yang lebih mencekam. Siapapun yang menggunakan cara teror itu apapun metodenya akan membuat kengerian dan ketakutan. Tentu siapa saja manusia pasti akan mudah hilang akal sehat dan logikanya. Kengerian dan ketakutan membuat kita harus diam atau kita membela membabi-buta hanya untuk menyenangkan pihak yang kuat meneror. Maka metode membuat kengerian apapun caraya baik cara berhukum yang tidak adil maupun cara bar-bar dengan senjata atau peledakan bom adalah bagian dari syarat yang potensial dapat menciptakan ketakutan. Kepentingannya bertujuan untuk melahirkan kepatuhan kolektif.

Dalam sejarah dunia maupun praktik-praktik teror untuk menimbulkan kengerian agar bertujuan menimbulkan ketakutan untuk mencapai kepatuhan kolektif. Hal ini sangat didambakan baik itu pemerintahan yang ingin berkuasa secara otoriter maupun juga kelompok atau golongan tertentu yang ingin tujuannya tercapai. Dan memang penciptaan kengerian dan ketakutan kolektif  sangat didambakan oleh setiap rejim otoriter yang berkuasa didunia manapun termaksud didambakan oleh kelompok atau golongan penganut cara terorisme (baca : sejarah dunia dan baca ; terorisme).

Bahkan, kalau kita tarik kebelakang banyak juga cara dan metode yang dilakukan rejim otoriter, tak selalu menggunakan kekerasan secara sistematis. Seperti pada masa Orde baru (Orba). Adanya penanda seperti kode OT pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), kebijakan penelitian khusus (Litsus) bagi orang-orang eks PKI bahkan anak cucunya yang tidak ikut dari aktivitas politik orang tua atau saudaranya. Aksi umat Islam di Tanjung Priuk yang dikenal dengan Jumat berdarah 12 September 1984 silam, aktivis-aktivis kritis untuk reformasi bangsa yang hilang dan mahasiswa Trisakti yang tertembak mati dalam aksi reformasi 1998 dan lain-lain. Selalunya dicap sebagai bentuk teror negara oleh kaum kritis, apalagi yang ke kiri-kirian waktu itu.

Orang ditembak begitu saja, dimatikan begitu saja, ditangkapin begitu saja. Tak peduli jaman atau orde. Tentu dengan kekhasannya masing-masing. Sejarah Orba mengajarkan kita sering menghasilkan korban yang mati ditembak, ditangkap dan dihukum tanpa proses pengadilan. Tindakan dan cara orba dulu metodenya sosialisasi untuk menyampaikan pesan pokok: "Jangan macam-macam dan coba mengganggu Soeharto dengan kroni Orbanya kalau tidak hilang atau dieksekusi tanpa proses hukum lewat peradilan".

Bagi yang menjalani hukuman melalui proses Peradilan pun suatu ke syukuran walau hakim tidak selalu berpihak dan bertindak adil. Atas semua kesemrawutan Orba itu maka terjadilah krisis ekonomi sebagai puncak lahirnya gerakan koreksioner Reformasi 1998 ditandai mundurnya Soeharto 28 Mei 1998 dengan suatu harapan dan cita-cita kita bersama agar Indonesia kembali ke Pancasila dan UUD 45 dengan Hukum sebagai Panglima.

Lalu apakah saat ini  kita disuguhkan dengan metode menyampaikan pesan kengerian dan ketakutan yang sama diatas ? Apakah kita melihat dan merasakan upaya sistematis mencekamkan ketakutan publik ? Kita semua harus manggut-manggut ? Kita harus dipaksa diam dan percaya semuanya ? Bahkan tak sadar kita digiring untuk empati kemanusiaan pun untuk dihilangkan ? Untuk apa sebenarnya kita disuruh sekolah tinggi dengan ilmu agama, sains, hukum, sosiologi, antropologi, kedokteran, administrasi pemerintahan, kriminologi, dan lain sebagainya itu. Untuk apa dengan semua rumah-rumah ibadah yang begitu banyak, menjamur dan indah-indah mempesona itu ? Untuk apa semua ini kalau harus tunduk terhadap pengekangan kolektif atas cara-cara penaklukan untuk kita harus diam dan takut kolektif ? Kemana Logika, akal sehat dan potensi ke Tuhanan yang ditiupkan oleh Tuhan dalam ruh kita masing-masing yang cenderung akan kefitrahan manusia sebagai khalifah fil ard ?

Kenapa pesan kengerian itu tidak harus di tunjukan kepada Majelis Mujahidin Indonesia (MTI) yang membunuh 4 nyawa warga negara tak berdosa di SIGI ? yang harusnya mereka dikepung dengan kekuatan penuh (full power) negara untuk kejar dan sekalian dieksekusi dihutan saja para terorist MIT ini. Harusnya kelompok makar oleh para extrimis pemberontakan di Papua Barat  itu diberondong saja dihutan-hutan Papua karena negara tidak salah untuk melawan pemberontakan. Harusnya koruptor level menteri (pejabat negara) minimal ditembak lebih dulu kakinya untuk dilumpuhkan dengan dalih melakukan perlawanan karena mereka adalah musuh negara yang ampuh melumpuhkan ekonomi kita bahkan dalam keadaan darurat seperi ini. Harusnya seluruh kartel narkoba dibumi hanguskan karena sudah sangat darurat narkoba bangsa ini, dan ditutup rapat jalan masuk peredaraannya baik darat, laut dan udara. Untuk apa ?  agar ada cara yang benar oleh negara untuk menciptkan ketakutan dan kengerian kepada para terorisme, extrimis pemberontak, koruptor kartel narkoba dan sehingga berdampak efek jera.

Menjadi tidak relevan kalau justru warga negara yang baik mendapatkan implikasi teror agar tidak kritis dan dipaksa patuh ditengah tuntutan kebebasan berpendapat. Lalu sampai kapan kita disuguhkan keadaan seperti ini ? Mana dan kapan Kepastian hukum bisa diteggakkan dengan baik, dan bagaimana negara hadir memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi warga negaranya ?

Dari semua ulasan dan kegundahan penulis diatas; Apakah ini menjawab dengan benar semua keresahan dan pertanyaan-pertanyaan kita ?

Apakah Kita baik-baik saja. Bagaimna kedepan teror akan menimpa siapa dan metode cara meneror sistematis untuk menundukkan siapa lagi ?. Memang saat ini harus percaya begitu saja dan kepada siapa harus percaya dan mencari keadilan ? Dan siapa sebenarnya yang mendesain kehidupan berbangsa kita menjadi terkoyak seperti ini ?

Wallahu Alam Bishawab...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun