Bensin campur etanol, dari E10, E15, sampai E85 selalu memicu perdebatan: apakah ia benar-benar meningkatkan performa, atau justru menambah boros? Opini saya: di mesin modern, campuran etanol dapat membuat mesin terasa lebih ringan bernapas dan tahan ketuk, terutama saat digeber. Namun, ada kompromi: konsumsi bbm biasanya sedikit memburuk. Seberapa besar efeknya tergantung kadar etanol, desain mesin, dan kalibrasi ECU.
Kuncinya ada di dua sifat fisik-kimia etanol: angka oktan tinggi dan panas penguapan yang besar. Oktan tinggi membantu mencegah detonasi (knock), sementara penguapan etanol yang "menyedot panas" menurunkan suhu campuran udara-bahan bakar. Hasilnya, margin anti-knock melebar dan mesin bisa memajukan ignition timing lebih agresif tanpa gejala ngelitik.
Pada mesin turbo dan direct injection yang kerap dibatasi knock, ruang lebih luas ini terasa nyata di putaran menengah-tinggi. Respons gas lebih percaya diri, dan tenaga puncak lebih konsisten saat suhu lingkungan panas. Bukan semata "magis etanol", melainkan karena batasan mekanik dan termal mesin jadi lebih longgar.
Trade-off datang dari energi per liter: etanol membawa energi lebih rendah daripada bensin murni. Di campuran rendah seperti E10--E15, ini biasanya berarti konsumsi naik beberapa persen bila kalibrasi mesin tidak dioptimalkan khusus. Jadi performa subjektif bisa naik, tetapi efisiensi km/l cenderung sedikit turun.
Pada campuran tinggi seperti E85, khusus kendaraan flex-fuel, ceritanya bisa berbalik untuk urusan tenaga. Dengan oktan efektif jauh lebih tinggi, ECU dapat menaikkan boost atau memajukan timing sehingga daya dan torsi melonjak. Konsekuensinya, konsumsi bahan bakar meningkat cukup terasa; ini paket yang lebih cocok bagi pencinta performa daripada pemburu keiritan.
Di mesin kecil dan roda dua berstandar emisi baru, campuran rendah-menengah (E10--E20) kerap menjadi kompromi yang menarik. Etanol membantu pembakaran lebih stabil dan bersih, terutama bila pabrikan mengatur ulang peta injeksi dan pengapian agar serasi dengan kadar oksigen tambahan dari etanol. Tanpa kalibrasi, manfaatnya tidak akan keluar maksimal.
Dari sisi emisi, tren umumnya positif untuk partikulat (PM) dan sebagian senyawa aromatik, bisa turun saat kadar etanol naik dari E0 ke E10/E20. Gas buang CO dan HC juga kerap menurun karena etanol "membawa" oksigen. Namun, perlu dicatat, beberapa aldehida tertentu dapat meningkat, sehingga gambarnya tidak murni hitam-putih.
NOx adalah wilayah abu-abu. Ada studi yang melihat kenaikan, ada pula yang mencatat penurunan, semuanya sangat bergantung pada suhu ruang bakar, rasio udara-bahan bakar (lambda), dan strategi EGR. Kesimpulan aman: NOx responsif terhadap setelan, bukan sekadar terhadap bahan bakar.
Isu lain yang sering muncul adalah cold-start. Karena etanol menyerap panas saat menguap, penyalaan pertama di udara dingin bisa lebih menantang. Di iklim tropis efek ini jauh berkurang, tetapi tetap butuh strategi pengayaan start yang tepat agar mesin tidak "batuk-batuk".
Ada pula urusan volatilitas dan peraturan musiman di beberapa negara, faktor yang menentukan kemudahan menguapnya bahan bakar dan kontrol uap. Bagi pengguna harian, perbedaan rasa pakai antara E10 dan E15 umumnya tipis, selama kendaraan kompatibel dan bahan bakar memenuhi spesifikasi resmi.