Mohon tunggu...
hidayah septia
hidayah septia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi dengan membaca sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dibalik Kemunduran Gus Dur: Sebuah Analisis Konflik Politik, Ideologi, dan Kepemimpinan Transformatif

12 Oktober 2025   15:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   15:46 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gus dur, adalah salah satu presiden Indonesia yang kontroversial di dalam sejarah sejarah modern. Masa kepemimpinannya sangat singkat dimulai 20 oktober 1999 sampai 23 juli 2001, bagai meteor yang terang benderang namun cepat padam. Tahun 2001 adanya pencabutan mandat melalui sidang istimewa oleh MPR menjadi penanda berakhirnya kepemimpinan yang penuh warna. Banyak publik yang melihat peristiwa ini sekadar sebagai kudeta politik atau manuver elit. Namun, kemunduran Gus Dur sejatinya adalah buah dari pertemuan tiga faktor krusial yang saling bertaut: konflik politik dengan elit lama Orde Baru, benturan ideologi tentang format negara Indonesia, serta gaya kepemimpinan Gus Dur sendiri yang transformatif namun seringkali dianggap tidak konvensional dan sulit diprediksi. Esai ini akan membedah ketiga faktor tersebut untuk memahami akar penyebab dari kemunduran presiden keempat Republik Indonesia.

Pembahasan 

Konflik Politik dengan Poros Tengah dan Cendana

Salah satu pilar utama penyangga naiknya Gus Dur ke kursi kepresidenan adalah koalisi partai-partai Islam yang dikenal sebagai Poros Tengah, yaitu PAN dan PKB miliknya sendiri. Menyebabkan, koalisi ini dengan cepat retak. Gus Dur, yang membawa agenda rekonsiliasi nasional, justru mengambil langkah-langkah yang dianggap mengancam kepentingan partai-partai dalam koalisi pendukungnya.

Langkah kontroversialnya adalah membuka keran investigasi terhadap kasus korupsi mantan Presiden Soeharto dan rekonsiliasi dengan PDIP yang dipimpin megawati soekarnoputri saat itu menjadi wakil presiden. Menurut Zulyani Hidayah dalam artikelnya "Gus Dur dan Poros Tengah: Konflik yang Tak Terelakkan", kebijakan Gus Dur dinilai telah menyimpang dari "amanat" Poros Tengah. Elit politik Poros Tengah merasa dikhianati karena Gus Dur lebih memilih pendekatan inklusif daripada mempertahankan identitas politik Islam yang lebih kental (Hidayah, 2020).

Di sisi lain, konflik dengan mantan kekuatan Orde Baru, khususnya keluarga Cendana dan militer, memanas dengan cepat. Gus dur juga membuat kebiajak mencabut Tap MPRS no. XXV/1996 berisi larangan Marxisme-Leninisme dan upayanya mereformasi militer dengan mencopot sejumlah perwira tinggi dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi kelompok ini. Dalam buku "Gus Dur: Warisan Perdamaian dan Kebebasan", Abdur Rozaki menjelaskan bahwa militer dan sisa-sisa Orde Baru melihat Gus Dur sebagai penghalang utama bagi kelangsungan status quo mereka. Mereka kemudian secara aktif membangun opublik dan aliansi politik di DPR/MPR untuk menjatuhkannya (Rozaki, 2009). Dua kubu kekuatan inilah---mantan pendukung Poros Tengah dan kekuatan Orde Baru---yang kemudian bersekutu untuk melancarkan mosi tidak percaya dan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.

Benturan Ideologi: Negara Pancasila vs Formalisme Syariat

Faktor lain yang sering luput dari analisis adalah benturan ideologis. Gus Dur adalah seorang pluralis sejati yang dengan gigih memperjuangkan negara Pancasila yang inklusif, di mana semua warga negara, regardless of agama dan keyakinan, memiliki kedudukan setara. Visi ini bertabrakan dengan kelompok-kelompok Islam politik yang menginginkan formalisasi syariat Islam, atau setidaknya, memberikan tempat yang lebih istimewa bagi agama mayoritas dalam konstitusi.

Kasus yang paling mencolok adalah penolakan Gus Dur terhadap usulan penerapan Piagam Jakarta melalui amendemen UUD 1945. Bagi kelompok Islam formalis, ini adalah pengkhianatan. Sebaliknya, bagi Gus Dur, ini adalah konsistensi pada prinsip mendasar negara bangsa. Ahmad Suaedy dalam "Pluralisme Gus Dur: Tantangan dan Warisan" menegaskan bahwa posisi Gus Dur ini membuatnya kehilangan dukungan massa dari kelompok Islam konservatif yang sebelumnya mungkin mendukungnya. Gus Dur dianggap telah "mengorbankan" aspirasi politik umat Islam untuk sebuah cita-cita negara yang pluralis (Suaedy, 2015).

Benturan ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang wacana publik. Gus Dur berusaha mendorong narasi bahwa Indonesia adalah milik semua, sementara oposisinya memanfaatkan sentimen keagamaan untuk menggambarkan Gus Dur sebagai pemimpin yang tidak cukup "Islami". Ketika isu-isu ini dipolitisasi, dukungan publik terhadapnya menjadi terkikis, memberikan justifikasi moral bagi para elit politik untuk menjatuhkannya.

Gaya Kepemimpinan yang Tak Terduga dan Masalah Komunikasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun