Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Gaun Putih dan Kue Cokelat (Bagian 2 dari SPdPK)

6 Desember 2022   23:34 Diperbarui: 6 Desember 2022   23:46 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang, Anaya tak semudah dulu untuk menaruh kepercayaan pada anak gadisnya itu. Terakhir kali Renjana mengaku dirinya sudah sembuh, Anayati menemukan plastik berisi obat-obatan di dalam tasnya. Lagi, riuh di dalam kepala wanita paruh baya itu menyeruak. Jantungnya berdesir. Ditelusurinya wajah sang anak lebih lama, lebih hati-hati untuk menemukan hidup di dalam sana.

"Lalu berapa hari kau di sini?" tanyanya.

Renjana berhenti mengunyah. Sorot matanya yang semula berani dan penuh warna, meredup. Jatuh pada sisa-sisa makanannya di piring. Sendu. Anayati sulit menelan salivanya. Sulit meyakinkan dirinya semua tengah baik-baik saja.

"Tidak dua hari, Bu. Aku ingin lama di sini," katanya.

Seluruh darah Anayati berdesir. Bak sebuah lautan, jiwanya disapu ombak. Wanita itu benci mengakui ini. Namun, di usianya yang mendekati senja, dia sudah melihat begitu banyak kematian dalam hidupnya. Sungguh, demi seluruh hidupnya, Anayati tidak suka melihat mata yang tak bernyawa. Untungnya, Anayati tak menemukannya di mata anak gadisnya.

Sekitar dua minggu lalu, Renjana meneleponnya dengan suara serak. Mereka mengobrol cukup lama, hampir setengah jam. Anayati bercerita tentang tanaman tomat yang ditanam suaminya sudah berubah, tentang tetangga baru mereka---seorang wanita tua dan cucu laki-lakinya---juga tentang sajadah berwarna biru yang dihadiahkan suaminya untuknya. Renjana sangat senang menimpalinya. Begitu yang didengar Anayati.

Namun, suaranya mendadak serak dan tercekat di menit-menit terakhir sebelum percakapan mereka selesai.

"Bu, aku jatuh di kamar mandi tadi. Tidak ada yang menolongku," adunya.

Seorang ibu pada umumnya, akan mengedepankan rasa cemas. Namun, Anayati lebih dulu menumpahkan air mata tanpa alasan yang jelas. Selama ini, dia bukanlah tipe wanita yang cengeng. Hanya saja, mendengar suara lirih Renjana membuat hatinya sakit. Sakit sekali dengan desiran aneh dalam darahnya.

"Apa lantainya licin?" sahutnya dengan suara parau.

Di pelupuk matanya, Anayati melihat anaknya dengan wajah sendu tengah menggeleng. "Kakiku tidak bisa bergerak. Aku hanya bisa menangis," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun