Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Balada Nasi Ayam Jakarta dan Singapura

11 Oktober 2018   14:16 Diperbarui: 11 Oktober 2018   14:50 2634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Statistik memang ilmu yang 'menyenangkan'. Bagaimana menurut Anda? Dengan berbekal data yang sama, dua ahli statistik bisa memunculkan analisis yang berbeda berdasarkan metode yang berbeda. Apakah itu berarti keabasahan metode tersebut dipertanyakan?

Hm.... bukan kapasitas saya untuk menilainya, tetapi ada semacam acuan dalam menggunakan metode analisis statistik yang detilnya hanya dipahami oleh mereka yang berkutat dengan ilmu yang satu ini.

Ilmu yang dimunculkan untuk menangani hal-hal yang bersifat tidak pasti ini telah digunakan dalam banyak bidang karena ketidakpastian selalu ada di dunia nyata. Hal-hal yang ideal hanya ada di angan-angan dan kita memerlukan sesuatu yang bisa dipakai untuk menganalisis ketidakpastian tersebut.

Dalam tahun politik, statistik laris manis digunakan untuk berbagai survei terkait dengan elektabilitas, swing voters, pemahaman masyarakat terhadap calon peserta pemilu, dll.

Berbagai indikator negara juga dimunculkan analisisnya berdasarkan statistik, seperti situasi ekonomi makro dan mikro, yang menjadi sebuah komoditi terlaris dalam masa tersebut.

Kompilasi dari indonesiaeats.com dan visitsingapore.com
Kompilasi dari indonesiaeats.com dan visitsingapore.com
Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi salah satu acuan keberhasilan pemerintah dalam mengelola negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kinerja yang positif.

Selain itu, di level masyarakat umum akan dirasakan dampaknya terkait dengan daya beli yang meningkat, tingkat pengangguran yang rendah, dll.

Beberapa waktu yang lalu ramai diberitakan bahwa Sandiaga Uno heboh membandingkan harga chicken rice di Singapura yang lebih murah daripada di Indonesia. Secara statistik, apakah ini benar? Mari kita lihat bersama-sama.

Bagi mereka yang pernah mengunjungi negara singa ini, jenis makanan yang satu ini sangat mudah ditemukan. Sepertinya semudah menemukan rendang di kota Padang, pecel di berbagai kota di Jawa, dll.

Chicken rice bukanlah jenis makanan mewah yang hanya bisa ditemui di restoran mewah atau hotel berbintang. Di pinggir jalan pun (kan tidak mungkin di tengah jalan...), kita bisa menemukannya. Setidaknya itu dulu saat saya berkunjung ke sana lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Membandingkan secara pisang ke pisang

Istilah apple-to-apple telah digunakan secara luas untuk prinsip membandingkan yang fair. Di sini saya menggunakan istilah 'pisang ke pisang', karena lebih membumi di Indonesia. Mengapa istilah apple-to-apple muncul di dunia sono? Karena jenis apel yang ditawarkan ragamnya terlalu banyak. Jadi kalau membandingkan harus jelas. Setidaknya ini analisis saya pribadi. 

Membeli apel lokal di negara 4 musim harus jelas jenis apa yang diinginkan, seperti membeli pisang di Indonesia.

Jika Anda ingin makan pisang dan mengatakan hal ini di dalam konteks negara 4 musim, maka permintaan Anda akan mudah dipenuhi.

Negara 4 musim rata-rata hanya mengenal pisang jenis cavendish, tidak ada pisang raja, pisang kepok (kepok kuning, kepok merah), pisang ambon, dll. Membeli apel lokal Indonesia juga mudah karena memang jenisnya terbatas.

Semoga hal ini bisa mencerahkan Anda mengapa saya memilih istilah 'pisang ke pisang'.

Saat Sandiaga berkomentar harga chicken rice di Singapura lebih murah daripada di Indonesia, apakah perbandingannya dilakukan dengan fair?

Berdasarkan pernyataan tersebut, tidak ada informasi yang jelas apakah perbandingan dilakukan dengan cara yang dapat diterima secara ilmiah.

1. Bukankah lokasi penjual menentukan harga jual sebuah produk? Barang yang sama persis tatkala dijual di mall pasti berbeda dengan di pasar tradisional karena ada tambahan harga untuk pendinginan ruangan. Apakah Sandiaga sedang membandingkan harga chicken rice ala PKL Singapura dengan chicken rice ala depot kecil?

2. Jika seandainya Sandiaga membandingkan chicken rice yang sama-sama dijual di sebuah depot kecil, masih ada faktor lain yang mempengaruhi harga jual. Chicken rice adalah jenis makanan yang sangat mudah ditemukan di Singapura. Anda yang pernah berkunjung ke Singapura pasti tahu bahwa menemukan chicken rice di Jakarta atau kota besar yang lain pasti lebih sulit. 

Sehingga di sini muncul hukum penawaran dan permintaan (Supply Demand). Dengan jumlah penjual chicken rice yang banyak, persaingan usaha di Singapura menjadi lebih ketat. Bagaimana dengan Indonesia? Lain bukan? 

3. Dalam bisnis makanan, selalu ada relasi antara besarnya porsi, komposisi pelengkap, dan kompleksitas rasa. Harga yang lebih mahal secara umum mewakili urusan rasa dan tingkat kenyamanan saat makan. Itu yang menjelaskan perbedaan harga rujak cingur (makanan khas Jatim) di di depot kecil dengan pujasera di mall. Konsumen biasanya mencari makanan yang murah, enak, dan buanyak! 

Kalau kriteria itu tidak dapat dipenuhi semuanya, maka akan ada kriteria yang dikorbankan dan setiap orang bisa berbeda. Di sini muncul permasalahannya, tidak ada satu pun pernyataan Sandiaga yang memunculkan relasi ketiganya. Apakah harga yang berbeda itu sudah termasuk besarnya porsi, komposisi pelengkap, kompleksitas rasa, dan kenyamanan saat makan? Tidak ada informasi ini!

Berdasarkan fakta-fakta ini, sepertinya kita bisa langsung menebak bahwa perbandingan yang dilakukan Sandiaga bukanlah 'pisang ke pisang'.

Apakah model perbandingan seperti ini layak untuk disampaikan? Sebenarnya tidak! Mengapa Sandiaga tidak menggunakan pecel? Karena saya yakin harga pecel, rendang, atau makanan khas Indonesia yang lain, di Singapura akan jauh lebih mahal dan membuat pernyataannya tidak bombastis!

Selain itu, Singapura yang sekelas kota itu tidak bisa dibandingkan secara sederhana dengan Indonesia yang jauh lebih besar dan beragam.

Penutup

Bukankah semua orang bebas berbicara? Benar! Tetapi apakah yang isi pembicaraan itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang? Belum tentu!

Kita memang perlu miris dengan kondisi masyarakat Indonesia yang lebih suka menerima informasi tanpa mau 'mengunyah' untuk dapat dicerna lebih jauh.

Hal ini yang sering dimanfaatkan para politisi busuk untuk membuai mereka yang (mohon maaf) kurang pengetahuan.

Saya menduga, ada oknum-oknum di negara ini yang tidak suka melihat masyarakat Indonesia secara umum tampil sebagai masyarakat yang berpengetahuan dan berwawasan.

Ini bukanlah perjuangan pemerintah semata, tetapi perjuangan kita bersama.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun