Mohon tunggu...
Hesti Sofiyanti
Hesti Sofiyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Manusia yang senang mengedit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rahasia Kesuksesan dr. Tirta: Warisan Nilai dan Didikan Orang Tua

2 Mei 2025   14:42 Diperbarui: 2 Mei 2025   16:14 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah sudut rumah sederhana di Surakarta, Tirta kecil duduk di antara tumpukan buku dan kertas. Di balik sorot matanya yang tajam, tersembunyi beban besar yang tak terlihat oleh teman-temannya. Ayahnya, Sutarjo, seorang dosen ekonomi yang kemudian menjadi bankir di sebuah BPR di Jawa Tengah, dan ibunya, seorang sarjana pertanian lulusan cumlaude dari Universitas Sebelas Maret yang juga beralih profesi menjadi bankir, menanamkan satu pesan kuat sejak dini: "Prestasi akademik adalah jalanmu mengangkat harkat martabat keluarga."

Sejak kelas satu SD di SD Katolik Kanisius Keprabon 2 Surakarta, Tirta sudah dibebani target tinggi. Ia harus menjadi yang terbaik di antara teman-temannya yang berasal dari keluarga lebih berada. "Papamu orang menengah, kamu sekolah di SD Katolik Kanisius, teman-temanmu anak pengusaha semua. Papa enggak bisa bayar guru les sampai kelas tiga, yang bisa kamu lakukan adalah belajar keras," kata ayahnya suatu hari. Kata-kata itu terus terngiang, membentuk tekad dan tekanan yang membekas dalam dirinya.

Namun, didikan orang tuanya bukan sekadar soal target dan tekanan. Mereka juga memberi ruang bagi Tirta untuk berpendapat dan berdiskusi. "Bapak saya memberikan kesempatan saya untuk berpendapat setolol apapun pendapat saya, dan dia nggak pernah nyalahin, tapi adu bantah," kenang Tirta. Bahkan, ia dan ayahnya pernah berdebat sengit selama sebulan penuh soal pembelian mobil keluarga, sebuah momen yang mengajarkan Tirta keberanian menyuarakan pendapat dan pentingnya dialog dalam keluarga.

Dari kecil, Tirta juga terbiasa mandiri. Orang tuanya tidak mampu mempekerjakan asisten rumah tangga, sehingga ia belajar mengatur dirinya sendiri sejak dini. "Saya dibebani target. Saya nggak punya Tamagotchi, saya ditarget, kalau mau PS1 kamu harus ranking segini," ujarnya mengenang masa kecil yang penuh tekanan akademik. Namun baginya, tekanan itu bukan semata beban, melainkan pelajaran hidup yang membuatnya disiplin dan gigih.

Pesan ayahnya yang paling membekas adalah, "Kalau kamu nggak pintar, kamu nggak akan bisa ke kampus. Satu-satunya untuk meningkatkan harkat martabat keluarga adalah lewat akademis." Dari situ, Tirta belajar bahwa pendidikan bukan sekadar kewajiban, melainkan tanggung jawab dan jalan keluar dari keterbatasan.

Namun, perjalanan hidupnya tak selalu mulus. Saat SMA, Tirta sempat memberontak karena merasa muak dengan target yang membelenggu. Ia berkonflik dengan guru dan teman, bahkan kepala sekolah memanggil orang tuanya berkali-kali. "Saya mulai membenci, saya kesal karena merasa sekolah untuk mereka, bukan untuk diri saya sendiri," kenangnya. Suatu hari, setelah dimarahi ayahnya dan kabur ke rumah teman, Tirta menemukan sebuah buku yang mengubah hidupnya: A Child Called "It". Kisah seorang anak yang disiksa, bertahan, lalu memaafkan ibunya membuka matanya bahwa semua tekanan itu adalah bentuk cinta dan harapan orang tua.

Masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dunia Tirta berubah drastis. Ia bertemu dengan teman-teman yang jauh lebih pintar dan kompetitif, yang membuat egonya hancur berkeping-keping. Ia mulai mandiri secara finansial, berjualan barang-barang di internet demi membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Namun, mimpi menjadi dokter spesialis bedah yang dulu membara perlahan padam. Ia sadar, jika terus mengejar mimpi itu, ayahnya yang sudah berusia hampir 60 tahun tak akan pernah menikmati hidup layak.

Keputusan besar itu diambil dengan berat hati: mengubur mimpi menjadi dokter spesialis demi keluarga. Ia memilih jalur lain, mengembangkan bisnis laundry sepatu yang sederhana namun penuh makna. Dari sepatu-sepatu kotor yang dibersihkan, Tirta membangun usaha yang kini menjangkau puluhan kota di Indonesia. Lebih dari itu, ia mengangkat nilai kemanusiaan dengan merekrut mereka yang sering terlupakan: anak jalanan, mantan narapidana, dan kaum marjinal.

Popularitas datang menghampiri, terutama saat pandemi COVID-19. Lewat media sosial, dr. Tirta menjadi suara yang tegas dan jujur, mengedukasi masyarakat dengan bahasa yang mudah dimengerti dan penuh empati. Namun, ketenaran itu juga membawa ujian besar. Ia harus belajar merendahkan ego, menerima kritik, dan belajar dari orang-orang yang mungkin secara akademik tak sehebat dirinya, tapi memiliki kebijaksanaan hidup yang luar biasa.

Kini, di usia 30-an, Tirta kembali ke bangku kuliah, menuntut ilmu manajemen bisnis demi memperkuat visi dan misinya. Ia sadar, menjadi pintar saja tak cukup. Yang membedakan adalah kemauan untuk terus belajar, terbuka pada pengalaman, dan mampu mengelola diri. Cerita dr. Tirta adalah kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan transformasi. Dari anak tunggal yang dibebani harapan besar, ia tumbuh menjadi sosok inspiratif yang mengajarkan kita bahwa kesuksesan bukan hanya soal gelar atau materi, tapi tentang bagaimana kita memberi arti dan manfaat bagi orang lain.

"Semua orang bisa meraih kesuksesan jika ia bekerja keras dan sungguh-sungguh. Semua usaha yang saya lakukan adalah bagian dari visi dan misi hidup untuk membantu serta memberdayakan orang lain." -- dr. Tirta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun