Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menjadi Elang atau Menjadi Kepompong?

25 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 25 Maret 2024   14:25 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kendati demikian, saya tidak bisa melawan sebuah kekuatan yang dengan penuh kejutan hadir dalam jawaban doa-doa saya. Sudah beberapa bulan pasca lulus dari Prodi S1 Psikologi, saya belum memiliki pekerjaan tetap yang menghasilkan banyak uang (impian semua anak moeda). Saya kadang merasa malu untuk 23.000 rupiah yang dikorbankan atas segelas Moccacino hangat kesukaan saya di Alogo Caf (salah satu kafe andalan saya, di Jalan Kledokan, Sleman, DIY). Karena itulah, saya lalu menuntut kepada Tuhan "saya ingin segera bekerja."

Lamaran demi lamaran -tapi bukan ajakan nikah, telah saya kirimkan ke mana-mana. Beberapa telah direspons dengan baik, saya bahkan telah melewati proses wawancara, ada pula yang telah memberikan kontrak kerja. Namun entah mengapa hati saya belum juga tertambat padanya.

Ibarat saya telah menyatakan cinta, sang pujaan pun menerimanya, namun saya tidak yakin dengan hal tersebut. 

Tentu, ini bukan persoalan normal atau bukan! Lagi pula normalitas itu tidak pantas diukur dengan pertimbangan yang irasional, oleh karena ada kebenaran dibalik sebuah pilihan untuk menjawab 'tidak' atau 'menolak'. Inilah realitas yang saya jumpai, ada sebuah keraguan yang tumbuh dalam hati. Tetapi saya tidak hanya membatasi diri pada perasaan saja, saya mendengar pertimbangan akal budi, saya membaca buku-buku yang memberikan kekuatan hati, dan saya juga berdiskusi dengan beberapa orang lainnya.

Setelah melalui pergolakan yang berulang kali, ada penolakan, ada kata tidak yang berulang. Saya akhirnya memutuskan untuk menjawab "ya" pada sebuah panggilan ke Jakarta. Kota yang bahkan saya hapus dari keinginan untuk hidup di sana.

Jika direnungkan, kini saya sadar menjadi manusia itu memang unik. Saya bisa menolak menjadi sesuatu, saya bisa berkeinginan terhadap sesuatu, namun kadang pun di antara penerimaan atau penolakan itu, terdapat sebuah ruang negosiasi (pertimbangan) yang membuat saya perlu memikirkan kembali.


Pada hari kedua di Jakarta ini, saya mulai merasakan sedikit tantangan dikhawatirkan itu. Biaya transportasi ojek online jauh lebih mahal daripada Jogja (tentu saja tidak patut dibandingkan). 

Namun biar bagaimana pun, saya telah menerimanya, maka kini Jakarta adalah sahabat baru saya. Bahkan saya tidak perlu mencintainya seperti Jogja, karena keduanya tentu berbeda, dan jauh di dalam lubuk hati; saya percaya keduanya akan selalu menjadi rumah yang nyaman. 

Saya bukan lagi elang kecil yang masih nyaman di dalam sangkar di atas pohon tinggi. Kini, saya telah menjadi elang dewasa yang terbang tinggi, bentangan lebar sayap saya mampu membuat badai di depan sana ketakutan dan mundur cepat-cepat. Namun sekali lagi, saya tetaplah manusia yang bisa salah, bisa gagal, bisa jatuh, bisa membuat kecewa, dan bisa marah atas apa pun. Tetapi saya tidak seperti elang di alam liar yang akan mencakar dengan penuh kekerasan,

Sebab saya adalah elang yang berlaku baik pada alam yang mendewasakan saya.

-Selamat Merayakan Hidup-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun