Kala itu di dekat sebuah toko kecil saya membeli shampoo, sekilas saya menyapa dan mencubit pipi adik perempuannya yang baru pernah saya temui, karena waktu itu adalah kepulangan saya setelah dua tahun kuliah di Yogyakarta.
Dia begitu lesu, tampak tersenyum namun terlihat penuh kecurigaan, tatapan matanya memberikan tanda bahwa dia tidak nyaman sehingga dengan sigap saya langsung menyapa dan meninggalkannya. Karena dengan begitu, mungkin dia merasa lebih aman.
Sampai di sini saya menjadi semakin sadar bahwa sikap seseorang memang tidak selalu muncul sebagai hasil belajar, tetapi juga dipengaruhi oleh masa lalunya.
Saya sering bertemu dengan orang-orang yang ketik disapa mereka cenderung diam, enggan merespon dan menampilkan afek yang penuh tekanan.
Dulu saya dengan segera akan mengevaluasi sikap semacam itu, dalam hati saya beragam spekulasi yang muncul.
Semenjak saya belajar tentang dikotomi kendali, sebuah prinsip dalam filosof stoa, saya menjadi lebih santai dalam menyikapi situasi seperti itu.
Hospitality dalam sebuah sikap
Mungkin saja keramahtamahan atau hospitality memang berawal dari sebuah sikap. Keterbukaan adalah salah satu dimensi kepribadian manusia yang sangat berpengaruh terhadap caranya dalam merespon kehidupan.
Orang-orang cenderung ramah adalah orang dengan pengalaman hidup yang positif, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga mengalami pengalaman traumatis.
Biasanya mereka menjadi lebih terbuka dalam relasi sosial karena adanya proses penyesuaian diri yang baik, yang berpengaruh pada kemampuan membangun persepsi rasa aman terhadap lingkungannya.
Sebuah penelitian oleh Barrera, dkk (2019) dalam International journal of environmental research and public health melaporkan bahwa penyesuaian diri yang baik berperan dalam tercapainya kondisi mental yang lebih baik pada seorang remaja.