Bagi orang dengan sikap ini, mereka memiliki kelebihan dalam kemampuan berelasi yang sangat baik, bonusnya mereka punya banyak teman, dimana-mana tempat pasti ada kerabat di sana.
Kehidupannya menjadi lebih menyenangkan dan selalu puas dengan kesehariannya. Rangkaian penelitian terdahulu dirangkum oleh ED Diener dalam artikelnya "Subjective well-being" yang terbit dalam The Science of Well-Being, menyatakan bahwa salah bentuk dari kebahagiaan atau kesejahteraan mental adalah memiliki rasa puas dalam relasi sosial dengan orang lain.
Bagaimana cara kita menyikapi keberadaan orang baru, pada prinsipnya memang tidak terlepas dari berbagai pengalaman kita di masa lalu. Persis seperti yang diungkapkan oleh Carl Rogers "pada prinsipnya manusia memang selalu merujuk pada pengalaman masa lalunya."
Walaupun begitu, Rogers berpendapat bahwa selalu menjadi masa lalu sebagai referensi dalam menjalani hidup di masa kini, bukanlah sebuah sikap yang tepat. Itulah sebabnya kita memerlukan upaya penyesuaian terhadap berbagai situasi hidup yang kita alami.
Hampir setahun yang lalu saya merasakan sebuah gairah yang amat besar dalam mempelajari kehidupan dari perspektif yang lebih reflektif dan filosofis.
Peristiwa ini terjadi di saat saya mulai membaca buku 'Labirin Kehidupan' karya teolog Indonesia yang sangat saya kagumi, Pendeta Prof. Joas Adiprasetya, Th.D.
Ada satu topik asing yang jarang saya dengar, tetapi berhasil saya cerna dengan baik, ketika beliau membahas hospitality.
Dalam refleksi saya, hospitality tidak selalu bermakna sebagai tindakan yang amat besar ataupun tindakan kecil yang bermaksud melakukan kebaikan kepada seorang asing. Karena hospitality justru muncul dari sebuah sikap dan cara pandang kita terhadap sesuatu atau kepada seseorang.
Apakah kita akan bersikap konstruktif atau sebaliknya, kita menjadi lebih destruktif? Lagi-lagi pengalaman kita selalu menjadi cikal-bakal segala respon tersebut.
Saya akan mencoba menguraikannya dari perspektif psikologi, bagaimana sebuah respon tersebut dapat muncul?