Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Limbah Dapur Ternyata Menciptakan Sebuah Ekosistem Sosial dan Ekonomi

26 September 2021   17:17 Diperbarui: 27 September 2021   10:30 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi limbah dapur dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat dari segi sosial maupun ekonomi. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Limbah memang kalau tidak dikelola dengan baik tentu akan menjadi masalah dikemudian hari. Karena kita tahu limbah akan memberikan dampak yang tidak baik bagi keberlangsungan ekosistem lingkungan yang sehat dan bersih.

Alur analoginya adalah seperti ini dimana ketika setiap rumah tangga menghasilkan limbah dapur berupa sisa dari makanan, sayuran, dan buah-buahan busuk serta minyak goreng tidak lagi bisa dipakai lalu dibuang dengan sembarangan ke saluran air, atau ketempat sampah. 

Implikasinya adalah saluran akan menjadi sumbat dan bisa menyebabkan banjir serta menjadikan tempat pembuangan sampah menjadi menumpuk.

Bisa kita bayangkan apabila setiap rumah tangga dalam lingkup RT atau RW menghasilkan limbah dapur yang tidak terkelola dengan baik lalu memiliki kebiasaan yang sama pula dimana membuang nya ke selokan atau saluran air, bisa disimpulkan bagaimana buruknya dampak lingkungan yang dihasilkan kedepannya. Keseimbangan ekosistem lingkungan akan terancam.

Namun, limbah dapur tidak selamanya seketika dihasilkan oleh setiap rumah tangga harus langsung dibuang sembarangan. Selain memiliki dampak yang buruk, limbah dapur apabila dikelola dengan baik tentu bisa mendatangkan manfaat walaupun limbah dapur lebih banyak mudaratnya.

Limbah dapur jamak kita ketahui bisa dijadikan sebagai pakan ternak. Bagi siapa saja yang memiliki ternak babi, ayam atau sejenisnya, limbah dapur sangat membantu memenuhi kebutuhan pakan ternaknya. 

Karena dengan memanfaatkan limbah dapur setiap rumah tangga menjadi pakan ternak, akan meringankan biaya pembelian pakan ternak walaupun nilainya tidak terlalu besar, tetapi setidaknya ada nominal yang bisa dihemat.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Ekosistem Nilai Sosial

Namun, dalam hal ini, penulis ingin mengangkat nilai sosial dari sebuah limbah dapur dalam ekosistem kehidupan manusia.

Cerita inspiratif itu datang dari seorang perempuan yang berjibaku mengumpulkan pakan ternak babinya yang berjumlah 4 ekor yang masih kecil.

Evi Togatorop adalah nama dari perempuan yang berprofesi sebagai Honor di dinas perhubungan di Kabupaten Tapanuli Utara.

Di sela-sela waktu luangnya, dia meluangkan waktunya untuk beternak babi dengan harapan dari hasil beternak babi dia akan mendapatkan penghasilan tambahan yang cukup lumayan untuk membiayai kebutuhan mereka sehari-hari bersama neneknya dan saudaranya termasuk membiayai kebutuhan kuliahnya. 

Dari gajinya dia sisihkan untuk membeli seekor indukan yang sudah melahirkan 8 ekor anak babi.

Walaupun saat ini tersisa hanya tinggal 4 ekor lagi, 4 ekor anak babinya sudah dia jual beberapa bulan yang lalu karena dia lagi butuh duit untuk membayar uang kuliah untuk tahun ini sampai dengan tahun depan. Dari hasil penjualan anak babinya dia pakai untuk membayar uang kuliahnya.

Setiap sekali dalam 2 hari, selepas pulang kerja dia menitipkan 2 buah ember bekas cat berisi 50 kg yang dia bawa dari rumah disebuah warung bakso. 

Setiap kali sudah tiba waktunya dia menjemput ember berisi limbah dapur hasil dari sisa kuah bakso dan mie dari pelanggan warung tersebut, embernya selalu terisi penuh.

Hal yang sama juga dialami oleh orang lain yang juga punya ternak babi yang menitipkkan ember penampung limbah dapur ditempat yang sama dengan Evi Togatorop menitipkan ember untuk penampungan limbah sisa makanan untuk pakan ternak babi. Embernya juga selalu penuh dengan limbah dapur hasil dari sisa makanan bakso dan mie ayam bakso yang dijajakan.

Dengan bermodalkan sepeda motor yang sudah dilengkapi dengan kerangka besi tempat dudukan ember berisi limbah dapur tadi, dia mengangkutnya untuk diberikan kepada ternaknya di daerah Bahal Batu yang hanya berjarak tempuh sekitar 30 menit.

Dari cerita ini, terpotret jalinan sebuah ekosistem sosial yaitu simbiosis mutualisme dimana adanya keuntungan atau manfaat yang diterima oleh masing-masing pihak, yaitu Evi dalam hal ini sebagai peternak yang menitipkan embernya di warung bakso mendapatkan keuntungan ekonomis untuk pakan ternak babinya. 

Sementara pemilik warung bakso terbantu dalam hal sirkulasi limbah dapur yang dihasilkan tidak menjadi beban lingkungan sekitarnya karena dapat terkelola dengan baik dengan dimanfaatkan sebagai pakan ternak tanpa dibuat pusing memikirkan kemana harus dia membuang limbah dapurnya.

Tentunya ada kohesivitas diantara keduanya karena sebelum terjadi keadaan saat ini, pasti dimulai dengan komunikasi meminta ijin dari Evi togatorop kepada pemilik warung agar bersedia memberikan limbah dapurnya untuk dapat dia tampung setiap harinya.

Cerita dari Evi Togatorop, tidak menutup kemungkinan menjadi pemicu lahirnya ide kreatif dimana setiap rumah tangga dalam lingkup RT/RW membuat sebuah wadah penampungan limbah dapur yang nantinya akan disalurkan kepada peternak babi maupun peternak lainnya.

Ketua RT/RW tentu diharapkan menjadi inisiator mewujudkan ide diatas menjadi sebuah gerakan yang bertujuan untuk menciptakan ekosistem lingkungan yang sehat dan bersih. 

Disamping juga membantu peternak memenuhi kebutuhan pakan ternaknya. Secara tidak langsung, ide yang apabila terealisasi akan membantu pemerintah dalam mengatasi dampak limbah terhadap keseimbangan lingkungan yang sehat dan bersih.

Tentu gerakan ini terlihat sederhana atau biasa-biasa saja namun kalau dilakukan dan disadari bahwa ide itu selain memberikan nilai manfaat secara ekonomi, juga memupuk kohesivitas diantara masyarakat kita untuk mengejawantahkan sikap saling membantu satu dengan yang lain. Apalagi disituasi pandemi saat ini yang membuat hidup sebagian orang jadi susah.

saya juga jadi tergerak untuk mengumpulkan limbah dapur kami dalam sebuah ember cat kecil bekas yang disediakan juga oleh Evi Togatorop. 

Kami terbantu juga sejak kami mengumpulkan limbah dapur kami dalam ember yang disediakan oleh Evi. kami pun tidak lagi membuang limbah dapur ke tempat pembuangan sampah yang menjadi sumber penyebab lingkungan sekitar tidak sehat.

Ekosistem Nilai Ekonomi

Cerita yang berbeda datang dari seorang teman yang bernama Wahyu.

Sebelum pandemi, dia pernah menawarkan sebuah peluang bisnis kepada saya. Peluang bisnis itu adalah mengumpulkan sisa minyak goreng (minyak jelantah) yang dihasilkan oleh rumah tangga. 

Dia menjelaskan kalau minyak jelantah itu memiliki nilai ekonomis karena permintaan ekspor dari negara asing yang cukup tinggi.

Katanya, minyak jelantah itu setelah dikepul selanjutnya akan diekspor ke negara Belanda. nantinya minyak jelantah yang dikumpulkan dari setiap rumah tangga dihargai sebesar Rp. 5.000 rupiah/kg.

Tentu peluang bisnis ini sangat menggiurkan, mengingat jumlah produksi minyak jelantah yang sangat banyak apabila dikumpulkan dari setiap rumah tangga di Indonesia.

Dilansir dari situs berita Kontan.co.id, Merujuk materi paparan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud yang dihimpun dari berbagai sumber, konsumsi minyak goreng di Indonesia pada 2019 mencapai 16,2 juta kiloliter. 

Dari jumlah tersebut, minyak jelantah yang terkumpul sebesar 3 juta kiloliter, di mana 1,6 juta kiloliter berasal dari rumah tangga perkotaan besar.

Dilansir dari situs berita yang sama, Indonesia ternyata cukup getol mengekspor minyak jelantah ke luar negeri. Di tahun 2019, ekspor minyak jelantah Indonesia mencapai 184.090 kiloliter dengan nilai sebesar US$ 90,23 juta.

Belanda menjadi tujuan ekspor utama minyak jelantah dengan nilai sebesar US$ 23,6 juta, kemudian disusul oleh Singapura sebesar US$ 22,3 juta, Korea Selatan sebesar US$ 10,6 juta, Malaysia sebesar US$ 10,5 juta, dan China sebesar 3,6 juta.

Belanda dan Singapura sendiri menjadikan minyak jelantah hasil produksi Indonesia sebagai bahan baku biodiesel untuk kendaraan. "Minyak jelantah mengandung senyawa karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan.

Kembali lagi ke cerita teman saya selama menjalankan profesi menjadi pengepul minyak jelantah di Kota Medan, dia sudah mendapatkan keuntungan ekonomi dari bisnis mengepul minyak jelantah yang mereka jual kembali kepada Eksportir minyak jelantah yang ada di Belawan untuk selanjutnya di ekspor ke Belanda.

Berbekal dari 2 cerita berbeda diatas, memberikan perspektif yang baru bahwa ternyata siapupun kita sebagai entitas warga negara, memiliki peran yang sama dalam mengelola limbah dapur dengan baik.

Berangkat dari sebuah kesadaran dan kepedulian akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar tetap bersih dan sehat, akan menggerakkan kita untuk menjadikan limbah dapur menjadi bermanfaat, tidak hanya secara ekonomis seperti yang dialami teman saya Wahyu namun juga memberikan manfaat sosial yaitu terciptanya ekosistem sosial dan kohesivitas seperti cerita Evi Togatorop dan pemilik warung.

Saatnya mengelola limbah dapur dengan baik untuk keberlangsungan ekosistem lingkungan yang sehat dan bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun