Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Ini yang Saya Takutkan Ketika Menulis

4 Oktober 2020   23:10 Diperbarui: 4 Oktober 2020   23:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membaca judul di atas, saya ingin bertanya terlebih dahulu kepada Anda. Apa yang Anda takutkan ketika menulis? Cobalah sejenak merenung dan menemukan jawabannya, lalu simpan dalam hati. Jawaban Anda tidak perlu disampaikan ke saya atau ke pembaca lainnya. Hal yang penting, Anda sudah menemukan jawaban tersebut lalu meresponsnya untuk menghilangkan ketakutan Anda.

Kemudian, Anda tentu juga ingin mengetahui apa yang saya takutkan, bukan? Apakah saya takut tulisan saya tidak dibaca orang? Tidak. Apakah saya takut artikel saya menyinggung perasaan orang lain, memicu kebencian atau dendam? Tidak juga. Lalu, apa?

Jawabannya sangat simpel kok. Ringan. Mungkin tidak Anda duga sama sekali. Ketika saya sedang menulis, terutama ketika menggunakan laptop, hal yang paling saya takutkan adalah hujan deras dan petir!

Seperti malam ini, sudah sekitar tiga jam hujan tak kunjung reda. Rencana menulis saya beberapa jam lalu terhenti dan saya urung menghidupkan laptop. Saya bayangkan, jika laptop tersambar petir lalu rusak maka saya tidak bisa lagi beraktivitas, meski untuk sementara. Setidaknya, jika hujan deras diiringi petir berpotensi merusak laptop maka saya akan menikmati kerugian.

Ada dua kerugian yang bisa saya sebutkan. Pertama, rugi materi karena saya harus membawa laptop saya ke tukang servis, dengan sejumlah biaya yang harus saya bayar. Kedua, rugi waktu karena jika laptop rusak karena tersambar petir, beberapa hari saya tidak bisa menulis.

Hujan deras disertai petir di tempat tinggal saya sudah  hal biasa. Bahkan, tidak jauh dari rumah saya, ada satu daerah bernama Pondok Petir. Beberapa tahun lalu sebelum saya pindah di tempat yang saya tinggali saat ini, teman saya sudah mengingatkan, "Hati-hati, di tempatmu itu banyak petir."

Tanda-tanda alam, seperti hujan deras disertai petir, membuat saya waspada. Barang-barang elektronik terutama televisi harus saya matikan jika hujan deras sedang asyik mengguyur bumi. Apalagi laptop! Saya buru-buru mematikannya jika sedang berproses menulis atau mengedit naskah.

Beberapa hari lalu pun, saat saya sedang mengedit naskah milik seorang penulis (bukan saya), hujan deras dan petir sedang menghebat membasahi serta menggetarkan bumi (maaf, terlalu lebay ya hehe...). Saya memberi tahu penulisnya, "Mbak, kirim file editnya tertunda ya, sedang hujan deras disertai petir di sini."

Jadi, simpel jawabannya. Hal yang saya takutkan saat proses menulis atau mengedit adalah hujan deras dan petir. Tak hanya itu, sesekali listrik tiba-tiba padam karena PLN pun ternyata "takut petir". Perusahaan pengelola listrik itu berusaha melindungi masyarakat dari sambaran petir dengan mematikan aliran setrumnya. Jika listrik tiba-tiba padam, berpengaruh pula pada barang-barang elektronik. Potensi terjadi kerusakan sangat besar. Jadi ketika hujan deras disertai petir, matikan semua barang yang tersambung dengan aliran listrik. Selain untuk menghindari sambaran petir juga untuk mewaspadai matinya listrik secara tiba-tiba.

Apakah hanya sesederhana itu tulisan ini? Hanya bercerita tentang takutnya seorang pengarang kepada hujan deras dan petir. Apa asyiknya?
Bagi saya, proses berkarya, termasuk menulis tidak bisa dipisahkan dari tanda-tanda alam. Jika kita peka terhadap setiap pergerakan alam semesta, dengan contoh mudahnya, hujan dan petir, maka kita dapat menghindari risiko atau peristiwa buruk.

Mewaspadai hujan deras disertai petir dengan mematikan laptop hanya salah satu cara saya agar tetap bisa berkarya. Jangan remehkan tanda-tanda alam jika kita ingin hidup dengan tenang. Jangan abaikan peringatan alam jika kita tidak ingin diterjang persoalan, seperti banjir, tanah longsor, atau kekeringan. Ah, jika saya teruskan maka tulisan ini akan melebar ke mana-mana, dan tidak fokus pada ketakutan saya pribadi.

Saya menuliskan ini setelah hujan reda dan petir pun tak terdengar lagi. Hening. Tenang. Bagi sebagian orang keheningan bahkan lebih menakutkan dibanding hujan deras dan petir. Namun, bagi sebagian orang lagi, keheningan merupakan bagian dari refleksi diri, merupakan saat yang tepat untuk melakukan kontemplasi.

Memiliki rasa takut bukan berarti kita mudah pasrah atau menyerah saat berkarya. Ketakutan kadang menjadi cara kita untuk lebih cerdas lagi dalam menata batin, menata hati, juga menata waktu agar perjalanan hidup yang dipenuhi dengan karya, tidak terhenti dengan sia-sia.

Salam inspirasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun