Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Risalah Sunyi, Kado Bersama di Sastra Bulan Purnama

19 Juli 2025   13:44 Diperbarui: 21 Juli 2025   12:43 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chairil Anwat merupakan simbol perlawanan, tetapi tanda itu kian  tumpul dalam realitas sosial hari ini. Puisi "Kepada Chairil" hadir sebagai gugatan terhadap reduksi puisi yang kini berfungsi sebagai penghibur semata, tercerabut dari fungsi sosial-politiknya. Dapat pula  dimaknai  sebagai renungan kegagalan generasi muda mewarisi daya gugat para penyair terdahulu.

Puisi "September Tidak Denganmu"  (Sonia Prabowo) menggambarkan kesedihan   personal, meskipun dapat dibaca sebagai bagian dari trauma sosial kolektif: kehilangan, perubahan musim, dan ketidakhadiran seseorang.

Ketika musim panas mulai berganti dengan musim hujan warna biru akan digantikan dengan ungu keceriaan akan memudar dan ditutup oleh kabut sendu.

Aku ingat ketika dirimu menyapa waktu itu matahari terik bergelora sama, dengan hatiku yang tak dapat berdusta.

Tapi mengapa ketika musim kembali berubah bergempita engkau sudah tak ada di sana hanya enam bulan saja.

Metafora musim tidak sekadar ekspresi perubahan hati, melainkan dinamika sosial  tak terkendalikan. Warna dan musim menjadi penanda peralihan batin, mengabstraksikan ketidakpastian dan ketidakberdayaan menghadapi relasi dan perpisahan.

Puisi ini menyuarakan kerinduan terhadap keharmonisan dalam dunia yang terus berputar: hanya enam bulan saja bukan sekadar durasi cinta, tapi juga ironi dari segala hal yang temporer dalam hidup modern. 

Tidak seperti puisi Latief yang menolak romantisme, Sonia justru memeluknya, namun dengan kesadaran getir bahwa segala yang hangat pasti akan lenyap.

Baik Latief, Indro, Joshua, maupun Sonia, menghadirkan kegelisahan terhadap waktu, baik sebagai kelahiran, perubahan, maupun kenangan. Mereka  mencoba mengartikulasikan makna keberadaan manusia dalam dunia yang tak pasti: absurd, terkadang penuh batas.

Latief dan Joshua menghadirkan kegetiran dan sinisme: realitas dianggap menindas dan kehilangan makna. Di sisi lain, Indro meyakini bahwa realitas bisa digugat dan ditransformasikan. Sedangkan Sonia menghadirkan puisi dengan nada melankolis personal: realitas diterima sebagai duka yang harus dijalani.

Tidak bisa dipungkiri jika keempat puisi tersebut berhasil mengolah tanda-tanda waktu dan relasi dengan cara berbeda. Keempat penulis mengabstraksikan tegangan antara individu dan struktur sosial melalui tokoh aku liris, relasi, bahasa, maupun kenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun