Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menapak Jejak dari Gunung Lawu ke Merbabu

21 Februari 2025   09:48 Diperbarui: 21 Februari 2025   16:34 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang Iman Budhi Santosa/Foto: Hermard

Konon, berkaca pada diri sendiri itu perlu, walau kadang bias bayangan seseorang juga tampak pada sosok orang lain dan kehidupan di sekitarnya. Persis sebatang pohon yang tumbuh sendirian di tanah lapang. 

Pagi, bayangannya akan berada di sebelah barat. Tengah hari bayangannya berhimpit dengan fisik pohon. Sedangkan sore hari, bayangannya justru pindah ke timur. Artinya, bayangan selalu berpindah sesuai dengan letak matahari. 

Mungkin saja penampakan sejarah kehidupan manusia demikian pula halnya. Banyak laku dan lelaku sudah kita lakukan. Tetapi harus diakui, kadang banyak pula penanda, petanda, dan tanda, kita biarkan lewat begitu saja tanpa meninggalkan makna dan secercah cahaya pun dalam kehidupan.

Begitulah gagasan moncer Iman Budhi Santosa (IBS, sastrawan Yogyakarta) yang dikutip Cak Kandar dan diletakan di sampul luar belakang buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung (Interlude, 2025). 

Semula, buku ini diberi "tetenger" (oleh IBS) dengan Jejak Tapak Lawu Prau Ungaran Merbabu karena pengembaraan atau lelaku hidup sastrawan ini memang dari gunung ke gunung.

Tapi, agaknya Cak Kandar mendapat "wisik" setelah memperingati seribu hari kepulangan IBS ke alam keabadian (meninggal 10/12/2020), sehingga judulnya menjadi Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung.

Dari peringatan seribu hari kepulangan IBS yang dilaksanakan di Plataran Dhadhapwaru, Berbah, Sleman, Yogyakarta, (14/12/2024), dalam rintik hujan yang syahdu, punggawa penerbit Interlude menjelaskan latar belakang penerbitan buku ini berkaitan dengan keelokan lelaku atau pengalaman hidup IBS.

"Penerbitan buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung dalam konteks ajar upakara karena kami ingin meneladani semangat dari IBS. Upakara berarti laku yang baik," jelas Cak Kandar.

Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam semesta batin Interlude, penerbitan karya almarhum Iman Budhi Santosa, termasuk buku Magetan: Bumi Kelahiran (Interlude, 2023), berangkat dari sebuah kata Kawi, upakara, bisa berarti sebagai laku baik dalam merespons karya dan sosok si penulis. Diperlukan tindakan baik dalam beragam wujud dengan muaranya rasa syukur atas keberadaan karya dan sosok IBS.

Bagi Interlude, karya dan sosok Iman Budhi Santosa patut "diupakara". Tentu dalam kadar dan skala Interlude sebagai "petani buku".

Buku dengan ketebalan hampir mencapai tiga ratus halaman ini terbagi dalam tiga bagian: Lawu (Magetan: Bumi Kelahiran), Prau-Ungaran (Jalan Sunyi Medini), dan Merbabu (Kisah Seorang Pegawai). 

Banyak lelaku, pengalaman hidup yang diceritakan IBS dengan menarik, antara lain menyangkut kota Magetan, kucing mati, nisan kuburan, tumbuhan tanda kelahiran, memanjat kelapa, kuburan burung, Glumut, dan bunuh diri kalong.

Kalong, Derkuku, dan Glumut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun