Serombongan anak-anak yang kami temui, ada yang masih mengenakan kopiah, berselempang sarung, dan di tangan mereka memegang beberapa mercon rawit (mercon kecil) dan obat nyamuk bakar yang menyala.Â
Mereka baru menyulut mercon di pinggir jalan- sepanjang bulak atau galengan sawah-setelah kami lewat. Ini sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap orang tua.
Jadi jangan heran kalau jalan di desa Jamblangan, Pundong, dan Babrik, semakin mendekati lebaran, semakin banyak potongan sampah kertas bekas mercon berserakan di pinggir jalan. Bukan saja anak-anak yang menyalakan mercon, tetapi orang dewasa pun berpartisiapasi pada malam hari.
Setelah kami pindah rumah mendekati kota, di daerah seputar Filosopi Kopi, Ngaglik, Sleman, sensasi jalan pagi terasa berbeda.Â
Pemandangannya lebih banyak rumah penduduk, meskipun masih ada juga  sawah membentang. Seperti di Jamblangan dan Pundong, di sini  masih terdapat banyak pepohonan besar di tanah-tanah kosong dan beberapa halaman rumah penduduk.Â
Dari pohon-pohon besar inilah kami merasakan keasyikan setiap jalan pagi. Suara mercon digantikan  kicauan aneka burung lepasan di pohon-pohon besar, terutama suara burung prenjak, derkuku, dan perkutut yang begitu khas, mengingatkan pada rumah priyayi Jawa yang selalu memelihara burung perkutut.Â
Di wilayah Yogyakarta, burung perkutut sengaja dibebas-liarkan oleh Pemda DIY agar berkembang biak di alam bebas. Di beberapa pohon besar terpasang tulisan larangan berburu.
Meskipun jalan pagi di tempat yang baru tidak ada lagi percakapan basa-basi, setidaknya sesama pejalan  pagi masih ada beberapa orang  saling bertukar senyum dan ucapan selamat pagi atau sekadar menganggukan kepala.
Selepas jalan pagi, Ibu Negara Omah Ampiran melanjutkan kegiatan bersih-bersih di dapur.Â
Sementara saya langsung ke halaman rumah memeriksa kondisi tanaman hias/anggrek, memperhatikan media tanamnya (apakah sudah perlu disiram atau belum), memberi perhatian jika ada hama pengganggu (siput, ulat, kupu putih, dan lainnya), memberi pupuk setiap seminggu sekali, dan terkadang mengabadikan beberapa bunga anggrek untuk diupload ke media sosial.
Selesai berkebun, dilanjutkan mandi. Setelah itu saya mengambil tempat di ruang tamu atau teras depan, membaca-baca buku agar  pikiran lebih terbuka dan tidak cepat pikun. Membaca buku saya lakukan untuk memperkaya ide, rujukan, dalam menulis apa pun, termasuk menulis untuk Kompasiana.