Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ratu dan Sindiran Sosial Politik

21 Februari 2024   09:35 Diperbarui: 21 Februari 2024   09:43 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Ratu (lama dan baru)/Foto: Hermard

Kumpulan cerkak (cerita pendek) Ratu karya Krishna Mihardja setelah hampir tiga puluh tahun (terbit pertama tahun 1995, Yayasan Pustaka Nusatama) diterbitkan ulang  oleh penerbit Interlude (2024) yang dikelola  Cak Kandar. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa cerkak yang ditulis Krishna Mihardja bukanlah cerita sak baen-baene alias kaleng-kaleng. 

Terlebih pensiunan guru matematika itu pernah menerima berbagai penghargaan. Salah satunya, perhargaan atas prestasi meningkatkan  apresiasi sastra dan bahasa Indonesia yang diberikan  Kementerian Pendidikan Nasional (2003).

"Sungguh, senang sekali kami diperkenankan menerbitkan kembali kumpulan crita cekak Ratu, Krishna Mihardja.  Cerita-cerita di dalamnya penuh  pasemon dan "perlawanan" yang bagi kami, ternyata masih amat sangat masuk (relevan) dengan kondisi hari ini," komentar Cak Kandar mengiringi  sosialisasi Ratu kepada pandemen sastra Jawa lewat platform media sosial.

Di sisi lain, Cak Kandar menilai belum banyak cerita pendek berbahasa Jawa kekinian yang begitu liar dan landhep (tajam) seperti cerita-cerita dalam buku ini. 

Keberanian menyindir situasi sosial politik seperti dilakukan Krishna Mihardja, perlu disambungkan kepada generasi muda pengarang sastra Jawa  hari ini. 

Dengan begitu diharapkan generasi  muda sastra Jawa dapat memahami bahwa sastra Jawa tidak sekadar bermuara pada etika, nguri-uri kabudayan Jawi, mengabdi kepada ukuran baik dan buruk, tetapi lebih dari itu mampu memberi kesadaran terhadap kondisi sosial budaya dan politik yang mungkin (bisa) dipersoalkan atau diperdebatkan.

Kritik pengarang sastra Jawa/Foto: dokpri Hermard
Kritik pengarang sastra Jawa/Foto: dokpri Hermard
Goenawan Mohammad menyatakan bahwa sastra merupakan pasemon, sindiran halus yang menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu. Dengan demikian, makna tidak secara apriori hadir. Makna hadir dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.

Dalam kumpulan cerkak Ratu, cerita   "Horn", misalnya,  memperlihatkan proses terealinasinya masyarakat dalam pembangunan.

Secara signifikan, horn merupakan simbol kemajuan, upaya perluasan "kekuasaan" sekaligus penenggelaman nilai-nilai humanis dengan dominannya nilai materialistik (kepercayaan kepada horn).

Bagi Rachmat Djoko Pradopo,  cerita-cerita Krishna Mihardja hadir sebagai sindiran politik, termasuk "Horn"-pengeras suara- yang semula menyuarakan suara rakyat, akhirnya hanya menyuarakan keinginan kepala desa sebagai penguasa. 

Cerkak lain yang menarik adalah "Ki Dhalang",  "Gendera Jambon", dan "Prapatan Awan-awan"-menceritakan penyelewengan para penguasa, dibumbui humor ironis.

Cerkak "Sandal Jinjit"  dinilai Afrizal Malna sebagai  karya sederhana dengan keinginan   memperlihatkan biaya-biaya sosial demi memenuhi kebutuhan performa  birokrasi di tingkat kelurahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun