Kumpulan cerkak (cerita pendek) Ratu karya Krishna Mihardja setelah hampir tiga puluh tahun (terbit pertama tahun 1995, Yayasan Pustaka Nusatama) diterbitkan ulang  oleh penerbit Interlude (2024) yang dikelola  Cak Kandar. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa cerkak yang ditulis Krishna Mihardja bukanlah cerita sak baen-baene alias kaleng-kaleng.Â
Terlebih pensiunan guru matematika itu pernah menerima berbagai penghargaan. Salah satunya, perhargaan atas prestasi meningkatkan  apresiasi sastra dan bahasa Indonesia yang diberikan  Kementerian Pendidikan Nasional (2003).
"Sungguh, senang sekali kami diperkenankan menerbitkan kembali kumpulan crita cekak Ratu, Krishna Mihardja.  Cerita-cerita di dalamnya penuh  pasemon dan "perlawanan" yang bagi kami, ternyata masih amat sangat masuk (relevan) dengan kondisi hari ini," komentar Cak Kandar mengiringi  sosialisasi Ratu kepada pandemen sastra Jawa lewat platform media sosial.
Di sisi lain, Cak Kandar menilai belum banyak cerita pendek berbahasa Jawa kekinian yang begitu liar dan landhep (tajam) seperti cerita-cerita dalam buku ini.Â
Keberanian menyindir situasi sosial politik seperti dilakukan Krishna Mihardja, perlu disambungkan kepada generasi muda pengarang sastra Jawa  hari ini.Â
Dengan begitu diharapkan generasi  muda sastra Jawa dapat memahami bahwa sastra Jawa tidak sekadar bermuara pada etika, nguri-uri kabudayan Jawi, mengabdi kepada ukuran baik dan buruk, tetapi lebih dari itu mampu memberi kesadaran terhadap kondisi sosial budaya dan politik yang mungkin (bisa) dipersoalkan atau diperdebatkan.
Goenawan Mohammad menyatakan bahwa sastra merupakan pasemon, sindiran halus yang menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu. Dengan demikian, makna tidak secara apriori hadir. Makna hadir dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.
Dalam kumpulan cerkak Ratu, cerita  "Horn", misalnya,  memperlihatkan proses terealinasinya masyarakat dalam pembangunan.
Secara signifikan, horn merupakan simbol kemajuan, upaya perluasan "kekuasaan" sekaligus penenggelaman nilai-nilai humanis dengan dominannya nilai materialistik (kepercayaan kepada horn).
Bagi Rachmat Djoko Pradopo, Â cerita-cerita Krishna Mihardja hadir sebagai sindiran politik, termasuk "Horn"-pengeras suara- yang semula menyuarakan suara rakyat, akhirnya hanya menyuarakan keinginan kepala desa sebagai penguasa.Â
Cerkak lain yang menarik adalah "Ki Dhalang", Â "Gendera Jambon", dan "Prapatan Awan-awan"-menceritakan penyelewengan para penguasa, dibumbui humor ironis.
Cerkak "Sandal Jinjit"  dinilai Afrizal Malna sebagai  karya sederhana dengan keinginan  memperlihatkan biaya-biaya sosial demi memenuhi kebutuhan performa  birokrasi di tingkat kelurahan.