Bagaimana Anda memaknai buku, terlebih jika buku-buku itu tidak mudah didapatkan, tidak dipajang di toko buku?
Menganggapnya sebagai jendela untuk melihat dunia? Atau sebagai gudang ilmu pengetahuan? Hanya sebatas itukah?
Kurang lebih tiga tahun yang lalu seorang lelaki tiba-tiba muncul di depan pintu, menenteng tas besar.
"Apa benar ini rumah bapak Herry?"
"Iya, saya sendiri Pak!"
"O, injih, ini saya diutus ibu menyampaikan ucapan terima kasih...."
Buku tersebut kiriman dari Ibu Kartika Affandi (putri Affandi) setelah saya menjadi salah seorang juri menulis artikel di Museum Affandi. Saya merasa heran, buku tersebut dikirim ke rumah di pelosok desa, tak mudah ditemukan, berjarak dua puluh kilometer dari Museum Affandi.
Penyair dan sastrawan kondang, Sapardi Djoko Damono, mempunyai tradisi "lempar buku sembunyi tangan" dalam memberikan buku. Tiba-tiba saja beberapa kiriman buku beliau datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.Â
Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono, tokoh teater/sastrawan, Sri Harjanto Sahid datang langsung ke kantor sambil menyerahkan beberapa buku. Hal pertama yang saya kagumi bukanlah karya-karya yang ia berikan, tetapi justru terhadap kerja mendokumentasikan karya-karya tersebut, ditulis sejak tahun 1994 (cerita panggung) sampai tahun 2010 (ratusan puisi).
Selebihnya, kecintaan Harjanto Sahid terhadap Rendra membuat ia hafal di luar kepala 60 puisi Rendra. Beberapa di antaranya sempat dibacakan di depan Gedung Agung Yogyakarta. Di sisi lain, puisi-puisi Harjanto Sahid tidak jauh dari protes sosial, berisi anekdot mengenai Indonesia. Terkadang ia menulis puisi yang terkesan main-main, konyol, sehingga membuat pembaca tersenyum kecut sembari geleng kepala.
kusimpan Tuhan di dalam dompet
kumasukkan ke saku jaket
di masjid ketika sembahyang
dompetku dicopet orang
(Tuhan dalam Dompet).