Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memaknai Buku dengan Cara Lain

30 Januari 2023   12:56 Diperbarui: 4 Februari 2023   13:02 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana Anda memaknai buku, terlebih jika buku-buku itu tidak mudah didapatkan, tidak dipajang di toko buku?
Menganggapnya sebagai jendela untuk melihat dunia? Atau sebagai gudang ilmu pengetahuan? Hanya sebatas itukah?

Kurang lebih tiga tahun yang lalu seorang lelaki tiba-tiba muncul di depan pintu, menenteng tas besar.

"Apa benar ini rumah bapak Herry?"
"Iya, saya sendiri Pak!"
"O, injih, ini saya diutus ibu menyampaikan ucapan terima kasih...."

Bersama Ibu Kartika Affandi di Cafe Loteng Museum Affandi/Foto: dokpri Hermard
Bersama Ibu Kartika Affandi di Cafe Loteng Museum Affandi/Foto: dokpri Hermard
Setelah tas cukup berat  berpindah tangan, lelaki itu pulang. Karena penasaran, tas segera saya buka. Ada bungkusan rapi di dalamnya. Saya sobek dan ternyata   berisi tiga buku ekslusif mengenai perjalanan hidup pelukis maestro Affandi.  

Buku tersebut kiriman dari Ibu Kartika Affandi (putri Affandi) setelah saya menjadi salah seorang juri menulis artikel di Museum Affandi. Saya merasa heran, buku tersebut dikirim ke rumah di pelosok desa, tak mudah ditemukan, berjarak dua puluh kilometer dari Museum Affandi.

Buku Affandi/Foto: Hermard
Buku Affandi/Foto: Hermard
Sungguh ini penghargaan yang luar biasa sebab tidak semua orang bisa mendapatkan buku eksklusif  menceritakan perjalanan hidup, proses kreatif, dan karya-karya pelukis tersohor Affandi. Mahasiswa seni rupa sekalipun, mungkin tak berkesempatan memiliki apalagi membuka-buka buku maha tebal itu.

Penyair dan sastrawan kondang, Sapardi Djoko Damono, mempunyai tradisi "lempar buku sembunyi tangan" dalam memberikan buku. Tiba-tiba saja beberapa kiriman buku beliau datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. 

Alih Wahana/Foto: Hermard
Alih Wahana/Foto: Hermard

Tulisan tangan Sapardi Djoko Damono/Foto: Hermard
Tulisan tangan Sapardi Djoko Damono/Foto: Hermard
Buku Alih Wahana disampaikan disertai ungkapan ucapan terima kasih karena beberapa data berasal dari saya sebagai pengamat sastra radio di Yogyakarta. Jauh sebelumnya, beberapa artikel untuk buku Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum kami tulis bersama.

Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono, tokoh teater/sastrawan, Sri Harjanto Sahid datang langsung ke kantor sambil menyerahkan beberapa buku. Hal pertama yang saya kagumi bukanlah karya-karya yang ia berikan, tetapi justru terhadap kerja mendokumentasikan karya-karya tersebut, ditulis sejak tahun 1994 (cerita panggung) sampai tahun 2010 (ratusan puisi).
Selebihnya, kecintaan Harjanto Sahid terhadap Rendra membuat ia hafal di luar kepala 60 puisi Rendra. Beberapa di antaranya sempat dibacakan di depan Gedung Agung Yogyakarta. Di sisi lain, puisi-puisi Harjanto Sahid tidak jauh dari protes sosial, berisi anekdot mengenai Indonesia. Terkadang ia menulis puisi yang terkesan main-main, konyol, sehingga membuat pembaca tersenyum kecut sembari geleng kepala.

kusimpan Tuhan di dalam dompet
kumasukkan ke saku jaket
di masjid ketika sembahyang
dompetku dicopet orang

(Tuhan dalam Dompet).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun