Pengantar
Dunia pendidikan di Indonesia "terkejut" ketika satu tamparan pada siswa yang merokok dijadikan alasan amat kuat untuk melakukan protes keras. Protes keras itu diwujudkan dalam bentuk mogok belajar. Mogok belajar dilakukan secara massal, bukan oleh satu kelas saja tetapi seluruh siswa dalam sekolah itu. Ini wujud solidaritas. Rasanya seperti amat membanggakan. Solidaritas. Keren, bukan?
Lalu, pertanyaan sederhana yang meluncur dari tiap bibir yang sempat membaca, menyaksikan tayangan vt di TikTok atau YouTube dan lain-lain medsos, "masalahnya apa sehingga para siswa mampu mengkonsolidasi diri agar dapat secara bersama-sama melakukan mogok belajar?"
Jawabannya, "Karena Kepala Sekolah memberi sanksi tegas pada siswa yang merokok. Sanksi itu berupa teguran dengan mulut dan tangan. Praktisnya, sang kepala sekolah, menampar siswa yang merokok."
Pemberitaan Media dan Respon Publik
Media mana pun tentu tidak sedang berada di sekolah pada saat terjadinya peristiwa itu. Para awak media baru berbondong-bondong untuk memberitakan peristiwa itu setelah para siswa melakukan aksi mogok belajar. Aksi itu ditunjukkan dengan dua cara: pertama, membuat spanduk yang digantung di pintu gerbang masuk ke sekolah. Spanduk bertulisan: kami tidak akan sekolah sebelum kepsek dilengserkan. Kalimat ini ditulis dengan tinta (cat) berwarna hitam dan merah. kami tidak akan sekolah sebelum (hitam) kepsek dilengserkan (merah). Rupanya para murid memberi warna merah sebagai tanda, marah.Â
Kedua, mereka tidak masuk sekolah. Beberapa media memuat foto yang menggambarkan ruang-ruang kelas kosong. Tidak ada siswa dan guru yang sedang melakukan kegiatan mengajar-belajar.
Kedua hal ini menjadi pemantik yang sungguh-sungguh menarik, sehingga siapa pun yang punya akun/kanal media sosial, dipastikan akan mengunggah tulisan pendek, foto dan meme. Semua itu menginspirasi siapa pun untuk bereaksi, memberi respon baik positif  maupun negatif, baik sebagai simpati maupun empati, dan lain-lain.
Media daring memuat berita dengan tulisan-tulisan pendek, dan belum dapat disebutkan sebagai sedang berimbang. Giring menggiring opini publik menyebabkan keterbelahan. Keterbelahan publik untuk berdiri di pihak guru/Kepala sekolah atau siswa (dan orang tua). Media sosial merupakan alat komunikasi yang teramat cepat, bahkan rasanya lebih cepat dari kedipan mata dalam membuat konten dan segera menyebarkannya.
- Kompas.com mencatat dengan judul: 630 siswa SMA Negeri 1 Cimarga Banten Mogok Sekolah Protes Kepsek Tampar Teman yang merokok. Berita ini dimuat pada (13/10/25, 13:55 WIB). Ada yang mengomentari: sudah merokok, berbohong, lebay lagi; anak sekolah sekarang mentalnya seperti itu, sudah salah ya, wajar dihukum. ... .
- Kumparan.com mencatat dengan judul: Pengakuan siswa SMA di Lebak yang ditampar Kepsek karena Merokok di Sekolah. Berita ini dimuat pada (14/10/25, 10:09 WIB). Ada di antara pembaca yang mengomentari, seperti ini:(1) Kamu cari sekolah yang membolehkan merokok di lingkungan sekolah, untuk orang tuanya didik saja sendiri, sekolah kan di sekolah yang membolehkan merokok. (2) Kasihan anak dibela karena bersalah, andai anak saya yg dihukum gurunya saya berikan hadiah kepada guru sebagai bentuk terima kasih.
- news.detik.com mencatat dengan judul: 630 siswa SMAN 1 Cimarga Mogok Sekolah Imbas Kepsek Tampar Murid Merokok. Berita ini dimuat pada Selasa (14/10/25, 17:37 WIB). Salah satu pembaca memberi komentar seperti ini: Jaman sekarang anak sekolah kebanyakan drama, sudah jelas siswa dilarang merokok, miras, narkoba dan melakukan kekerasan di lingkungan sekolah,jika didapati melanggar jelas ada konsekuensi, ini baru ditampar, dulu saya sekolah pernah ditonjok perut saya karena mengeluarkan baju, melipat lengan baju dan membuka kancing di dada, engga ada tuh trus ngadu sama ortu malah kalo ortu tau kita melakukan kesalahan malah jadi double hukuman, di sekolah dan di rumah, pernah dijemur di halaman sekolah kedapatan merokok di kantin dari jam istirahat sampai jam pulang sekolah, karena memang merasa salah yah tanggung aja resikonya, malu iya, kesel iya, sakit hati ada tapi yah memang resiko kita melanggar aturan sekolah.Sekarang dikit-dikit lapor.
- banten.suara.com mencatat dengan judul: Protes Penamparan Kepala Sekolah, Siswa SMAN 1 Cimarga Akhirnya Berdamai, Ini Syarat yang Dipenuhi! Berita ini dimuat pada Rabu (15/10/25, 16:20 WIB). Berita yang dimuat ini berdekatan waktunya dengan saat artikel ini ditulis, sehingga belum terlihat ada komentar pembaca. Namun, bila menelusur laman/situs ini, terdapat sejumlah catatan lainnya seperti: (a) Gubernur Banten Nonaktifkan Kepala SMAN 1 Cimarga (b)Â Pengamat Pendidikan sebut Keputusan Gubernur Banten Nonaktifkan Kepsek SMAN 1 Cimarga "blunder"; (c) Komisi V DPRD Banten dorong Mediasi Kasus SMAN 1 Cimarga (d) Tak Terima Anak Ditampar, Orang Tua Siswa SMAN 1 Cimarga Siap Temph Jalur Hukum.
Masih banyak lagi yang dapat dibaca dan ditonton oleh publik di media daring, medsos, dan lain-lain. Semua pemberitaan ini rasanya tidak ada yang "membela" guru/kepala sekolah. Judul-judul berita nyaris menggiring publik pada olah pikir negatif terhadap tindakan yang diambil oleh kepala sekolah terhadap siswa yang jelas-jelas melanggar peraturan. Bahkan, seorang Gubernur yang semestinya bijaksana dalam kata dan tindakan, justru mengambil kebijakan non-aktifkan kepala sekolah. Mungkinkah Sang Gubernur sudah mendengar suara rakyat melalui DPRD (Komisi V) Provinsi Banten? Mereka meminta untuk mediasi. Dede Rohana Putra, anggota DPRD Provinsi Banten bahkan meminta agar ... jangan hanya salahkan kepsek, walau saran "bijak"nya yakni investigasi. Wao... investigasi ... kata-kata yang luar biasa.Â