Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Itu Pesta Demokrasi, Bukan Perang

14 Maret 2019   15:14 Diperbarui: 14 Maret 2019   18:26 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: nigerianpilot.com

Demokrasi ala Athena yunani terampas oleh rezim militeristik ala romawi yang akhirnya cukup lama Eropa berada dalam system pemerintahan yang monarki absolut. Abad pencerahan sebagai sebuah abad yang diwarnai kesadaran kesamaan hak mendorong perjuangan adanya demokrasi. Sangat ekstrim malahan perjuangan itu. Konon di Perancis, sampai sekarang orang orang kaya tidak terlalu menunjukkan kekayaannya karena pada masa perjuangan demokrasi awal di sana dan cukup lama, masyarakat bawah memburu kalangan borjuis dan membunuh mereka. Sehingga orang orang kaya tidak berani menunjukkan kekayaannya. Wajar kalau kemudian di sana demokrasi begitu kuat dan cukup radikal.

Sementara di Indonesia, demokrasi berjalan dengan perbedaan yang khas dengan di Eropa.Namun demikian, kekhasan itu justru membawa pada demokrasi setengah setengah. Demokrasi kemudian tidak sepenuhnya demokratis. Bentuk negara Republik sendiri diambil menurut R. Robert bukan didasarkan kajian yang mendalam berkaitan dengan apa itu republic. Meskipun di kemudian hari sebenarnya ini cukup ideal. Namun awalnya republic diambil sebagai bentuk pemerintahan yang berbeda dengan system pemerintahan penjajah yang dianggap Feodal. 

Sampai sekarang kan, Belanda dan Jepang yang dulu menjajah kita tidak sepenuhnya demokratis. Juga kebanyakan negara Eropa. Jadi Republik waktu itu, demokrasi waktu itu sekedar menjadi system pembeda antara kita yang merdeka dengan penjajah yang monarki. Waktu itu ada tokoh yang mengusulkan bentuk negara berupa kerajaan. Dengan voting, ditentukanlah bentuk pemerintah republic. Perjalanan demokrasinya pun di Indonesia punya dinamika yang cukup pelik.

Demokrasi Indonesia masih membuka ruang penafsiran atas prakteknya dan penerapannya di negara ini. Ada demokrasi langsung, ada demokrasi tak langsung, ada demokrasi terpimpin, dll. Hampir belum pernah ada demokrasi yang sesungguhnya di negara ini. Bahkan, munculnya istilah pesta demokrasi lahir dari situasi Indonesia yang tidak demokratis.  Situasi apa sajakah yang menyandera demokrasi waktu itu? Hilangnya kebebasan pers, hilangnya kebebasan berpendapat dan berpendapatan, monopoli ekonomi, nepotisme, militeristik, dll. Menuju puncak otoritarianisme yang masih menggunakan jubah demokrasi akhirnya golput bisa dipahami sebagai protes. Waktu itu, kan, kapanpun pemilunya pemenangnya dipastikan golkar. Bahkan golput diserukan oleh Lembaga Lembaga peduli hak asasi manusia.

Situasinya sekarang agak berbeda. Kaum oposisi boleh dalam arti tertentu kritis dan malahan nyinyir pada pemerintah. Meskipun mereka (setidaknya bung Fadli) menyebut matinya demokrasi. Tapi bisa dibayangkan kalau ungkapan itu disampaikan pada masa pasca orde Sukarno. Saya tak terlalu yakin beliau masih bisa kritis beberapa hari ke depan.

Jadi, pemilu yang banyak kebebasan ini merupakan sebuah puncak atas perjuangan demokrasi. Lalu kalau dimaknai sebagai perang, ini kan keterlaluan. Toh demokrasi tidak menciptakan kita hitam putih. Demokrasi dan juga globalisasi memunculkan adanya relativisme nilai. Tidak serta merta kaum bodoh berhadapan dengan kaum pintar, kaum suci berhadapan dengan kaum kotor, keadilan dengan ketidak adilan. Dalam demokrasi, hanya ada permainan dan makanya kemenangan atas perjuangan itu perlu dipestakan dalam pemilu. 

Kini, dalam situasi yang demokratis golput menjadi pengkhianatan atas demokrasi dalam suatu negara. Ibaratnya orang memperjuangkan untuk mengawini seseorang tapi tak mau mencintai yang dikawininya.

Bukankah kita tidak menginginkan kembalinya otoritarianisme di negara ini? Selamat menikmati pesta demokrasi. Ini bukan perang suci, ini permainan politik yang memuat di dalamnya bagaimana nasib kita ke di hadapan tarian takdir kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun