Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Itu Pesta Demokrasi, Bukan Perang

14 Maret 2019   15:14 Diperbarui: 14 Maret 2019   18:26 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: nigerianpilot.com

Dalam sebuah demokrasi yang di dalamnya mengangkat persaudaraan dan persamaan hak, pemilu adalah pesta demokrasi. Bukan perang yang menempatkan diri sebagai protagonis dan pihak lain sebagai musuh. Persis di dalamnya hanya ada kami dan kalian sebagai musuh. Karena dalam arti ini persis bertentangan secara substansial ketika dalam demokrasi mengedepankan persamaan hak dan perang meniadakan adanya persamaan.

Apalagi perang suci. Perang suci adalah perang antara yang baik dengan yang jahat. Baiklah dalam bahasa religius mungkin antara penyembah Tuhan dengan penyembah berhala, atau mungkin antara setan dengan malaikat. Ketika Amin Rais dan Neno Warisman, misalnya memandang pemilu layaknya perang badar antara yang suci dengan yang kafir, rasanya juga tidak terlalu pas. 

Mereka yang takut para penyembah Tuhan ini hilang, di antaranya adalah koruptor dan juga pemakai narkoba. Dalam hal ini saya tidak menyebut nama. Tapi saya yakinkan ada. Terlalu lebay lah, mengutip doa perang suci untuk sebuah pesta demokrasi dan merendahkan religiusitas itu dalam sebuah permainan politik. 

Seserius apapun permainannya, tetaplah sebuah permainan manakala di dalamnya lebih hampir tanpa aturan bila dibandingkan dengan permainan catur dengan bidak bidaknya. Dalam politik tak ada kawan yang abadi. Pun sebaliknya. Amien Rais dan Prabowo contohnya. PDIP dan Golkar adalah contoh lainnya. Fadli Zon dan Ahok di sudut lain sebagai contoh juga.

Jadi seandainya ada salah satu kubu yang kalah, katakanlah, negara tak akan bubar (toh masih ada oposisi) dan para penyembah Tuhan akan tetap eksis atau katakanlah Tuhan masih akan disembah. Yang ada paling paling ya, yang kalah bangkrut. Itu saja, kalau mereka memakai modal. Apalagi, di Indonesia yang secara statistik religiusitas masih dijunjung tinggi. Maka, mengajarkan perang dalam demokrasi sebenarnya merupakan sebuah penyesatan akan makna hakiki demokrasi.

Lah sepak bola aja pertandingan, penontonnya bisa tawuran? masa yang sebesar politik tidak diidentikkan dengan perang? jawabnya... pertandingan bukan perang. Adanya lawan tanding bukan untuk menciptakan permusuhan. Sebaliknya, sepakbola ga akan jalan tanpa lawan tanding. demokrasi juga demikian. pemilu juga demikian. kalau sampai ada tawuran dan kebencian, itu sebentuk kebodohan. Lawan, sebenarnya adalah teman bermain. bukan musuh sebagai enemy. 

Pemilu sebagai Puncak Demokrasi

Demokrasi bertautan erat dengan perlawanan terhadap monarki di mana dalam monarki kekuasaan dan kebijakan terpusat pertama tama personal pemimpinnya. Tidak buruk, setidaknya menurut Plato, sistem monarki ini sejauh pemimpinnya bijaksana dan memang mengarah pada kesejahteraan bersama. Namun jika tidak, sistem ini bisa mengarah pada otoritarianisme. Dan memang biasanya mengarah pada pemerintahan yang otoriter. 

Selain itu juga, penerusan atau pewarisan kekuasaan juga tidak membuka kemungkinan bagi masyarakat pada umumnya. Maka demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang terbuka jelas lebih akan diterima secara luas. Perjuangan ke arah ini cukup berdarah darah di eropa. 

Meski demikian, masih menurut Plato, sistem ini juga tidak serta merta ideal. Kalau rakyatnya bodoh, ya mereka hanya akan dibodohi dan kebodohanlah yang akan menjadi pengendali kekuasaan. Setidaknya ini berlaku atau muncul dari sakit hatinya Plato atas kematian Socrates gurunya yang begitu bijaksana karena pengadilan rakyat (bodoh) yang sedemikian kejam. 

Mereka bersama sama, meskipun salah, mengadili dan memvonis Socrates dengan hukuman mati. Di antaranya di anggap atheis karena tidak mau menyembah dewa dewa dan punya konsep ketuhanan sendiri yang berbeda. Namun demikian toh, Plato tetap melihat bahwa dalam kesadaran dan keterbukaan, dalam persamaan hak, demokrasi tetaplah menjadi sebuah bentuk pemerintahan yang paling mendekati adil.

Demokrasi ala Athena yunani terampas oleh rezim militeristik ala romawi yang akhirnya cukup lama Eropa berada dalam system pemerintahan yang monarki absolut. Abad pencerahan sebagai sebuah abad yang diwarnai kesadaran kesamaan hak mendorong perjuangan adanya demokrasi. Sangat ekstrim malahan perjuangan itu. Konon di Perancis, sampai sekarang orang orang kaya tidak terlalu menunjukkan kekayaannya karena pada masa perjuangan demokrasi awal di sana dan cukup lama, masyarakat bawah memburu kalangan borjuis dan membunuh mereka. Sehingga orang orang kaya tidak berani menunjukkan kekayaannya. Wajar kalau kemudian di sana demokrasi begitu kuat dan cukup radikal.

Sementara di Indonesia, demokrasi berjalan dengan perbedaan yang khas dengan di Eropa.Namun demikian, kekhasan itu justru membawa pada demokrasi setengah setengah. Demokrasi kemudian tidak sepenuhnya demokratis. Bentuk negara Republik sendiri diambil menurut R. Robert bukan didasarkan kajian yang mendalam berkaitan dengan apa itu republic. Meskipun di kemudian hari sebenarnya ini cukup ideal. Namun awalnya republic diambil sebagai bentuk pemerintahan yang berbeda dengan system pemerintahan penjajah yang dianggap Feodal. 

Sampai sekarang kan, Belanda dan Jepang yang dulu menjajah kita tidak sepenuhnya demokratis. Juga kebanyakan negara Eropa. Jadi Republik waktu itu, demokrasi waktu itu sekedar menjadi system pembeda antara kita yang merdeka dengan penjajah yang monarki. Waktu itu ada tokoh yang mengusulkan bentuk negara berupa kerajaan. Dengan voting, ditentukanlah bentuk pemerintah republic. Perjalanan demokrasinya pun di Indonesia punya dinamika yang cukup pelik.

Demokrasi Indonesia masih membuka ruang penafsiran atas prakteknya dan penerapannya di negara ini. Ada demokrasi langsung, ada demokrasi tak langsung, ada demokrasi terpimpin, dll. Hampir belum pernah ada demokrasi yang sesungguhnya di negara ini. Bahkan, munculnya istilah pesta demokrasi lahir dari situasi Indonesia yang tidak demokratis.  Situasi apa sajakah yang menyandera demokrasi waktu itu? Hilangnya kebebasan pers, hilangnya kebebasan berpendapat dan berpendapatan, monopoli ekonomi, nepotisme, militeristik, dll. Menuju puncak otoritarianisme yang masih menggunakan jubah demokrasi akhirnya golput bisa dipahami sebagai protes. Waktu itu, kan, kapanpun pemilunya pemenangnya dipastikan golkar. Bahkan golput diserukan oleh Lembaga Lembaga peduli hak asasi manusia.

Situasinya sekarang agak berbeda. Kaum oposisi boleh dalam arti tertentu kritis dan malahan nyinyir pada pemerintah. Meskipun mereka (setidaknya bung Fadli) menyebut matinya demokrasi. Tapi bisa dibayangkan kalau ungkapan itu disampaikan pada masa pasca orde Sukarno. Saya tak terlalu yakin beliau masih bisa kritis beberapa hari ke depan.

Jadi, pemilu yang banyak kebebasan ini merupakan sebuah puncak atas perjuangan demokrasi. Lalu kalau dimaknai sebagai perang, ini kan keterlaluan. Toh demokrasi tidak menciptakan kita hitam putih. Demokrasi dan juga globalisasi memunculkan adanya relativisme nilai. Tidak serta merta kaum bodoh berhadapan dengan kaum pintar, kaum suci berhadapan dengan kaum kotor, keadilan dengan ketidak adilan. Dalam demokrasi, hanya ada permainan dan makanya kemenangan atas perjuangan itu perlu dipestakan dalam pemilu. 

Kini, dalam situasi yang demokratis golput menjadi pengkhianatan atas demokrasi dalam suatu negara. Ibaratnya orang memperjuangkan untuk mengawini seseorang tapi tak mau mencintai yang dikawininya.

Bukankah kita tidak menginginkan kembalinya otoritarianisme di negara ini? Selamat menikmati pesta demokrasi. Ini bukan perang suci, ini permainan politik yang memuat di dalamnya bagaimana nasib kita ke di hadapan tarian takdir kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun