JAKARTA,---Kompleksitas tantangan global, mulai dari krisis iklim, disrupsi digital, hingga ketimpangan sosial, menuntut perubahan mendasar dalam peran negara. Selama ini, negara cenderung memosisikan diri hanya sebagai regulator yang kaku, berfokus pada pembuatan aturan dan pengawasan administratif. Namun, pendekatan ini terbukti tidak memadai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan sejati.
Menurut Pemerhati Regulasi Digital, Agustinus, S.H., sudah saatnya negara bertransformasi menjadi orkestrator pembangunan. Konsep ini, yang berakar pada pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai instrumen rekayasa sosial (law is a tool of social engineering) dan pandangan Amartya Sen mengenai pembangunan sebagai perluasan kebebasan (Development as Freedom), menempatkan negara sebagai penghubung, fasilitator, dan pengarah kolaborasi lintas sektor.
Pergeseran paradigma ini krusial. Dalam kerangka Brundtland Report (1987), pembangunan berkelanjutan adalah tentang menjamin kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan masa depan. Namun, tantangan global yang multidimensi tak bisa diatasi dengan hukum sektoral semata.
Negara orkestrator berfungsi layaknya seorang dirigen:
Koordinasi Lintas Sektor: Mengintegrasikan kebijakan ekonomi, lingkungan, dan teknologi dalam satu visi keberlanjutan yang utuh.
Inovasi Hukum Adaptif: Mendorong regulasi yang fleksibel, yang justru mendukung inovasi hijau alih-alih menghambatnya.
Partisipasi dan Akuntabilitas: Membangun mekanisme hukum yang transparan dan melibatkan seluruh aktor pembangunan---swasta, akademisi, hingga masyarakat.
Dengan peran orkestrator, hukum tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi menjadi instrumen koordinasi dan inovasi untuk mencapai keadilan antargenerasi.
Transformasi peran ini juga harus disandingkan dengan perkembangan era digital. Negara orkestrator wajib memastikan bahwa teknologi, data, dan kecerdasan buatan (AI) digunakan untuk tujuan berkelanjutan.
Kedaulatan ekologis menjadi isu sentral. Ini bukan sekadar menguasai wilayah fisik, tetapi juga mengatur arus energi, informasi, dan sumber daya alam secara adil dan lestari. Integrasi data lingkungan nasional dan perlindungan data ekologis harus menjadi bagian integral dari kedaulatan negara abad ke-21.
Agustinus menekankan, untuk mengaktifkan peran ini, reformasi hukum dan kelembagaan tak terhindarkan. Langkah-langkah strategis harus mencakup:
Revisi undang-undang untuk memasukkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance).
Penguatan Green Court dengan kapasitas teknis tinggi.
Penerapan desentralisasi hijau yang memberi ruang inovasi daerah sesuai potensi ekologinya.
Pemanfaatan instrumen hukum ekonomi, seperti insentif fiskal dan pajak karbon.
Perubahan dari regulator menjadi orkestrator adalah keniscayaan historis dan moral. Negara tidak bisa lagi hanya berdiri sebagai pengawas di atas rakyat, tetapi harus berdampingan sebagai pemimpin yang menyatukan seluruh instrumen pembangunan dalam harmoni keberlanjutan.
Negara orkestrator adalah janji akan masa depan yang tidak hanya teratur oleh hukum, tetapi juga adil, bebas, dan berkelanjutan bagi manusia dan alam. Inilah saatnya hukum pembangunan bertransformasi menjadi sarana pembebasan dan penyelarasan, bukan sekadar pengendalian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI