Tanpa meritokrasi, masyarakat kehilangan kepercayaan bahwa usaha dan kemampuan dapat mengubah nasib. Hal ini menciptakan moral collapse, di mana motivasi berprestasi tergantikan oleh logika koneksi dan kompromi.
Dari sisi produktivitas, lemahnya meritokrasi berarti hilangnya efisiensi. Talenta terbaik tidak terpakai, sementara posisi strategis diisi oleh individu yang tidak kompeten. Akibatnya, digitalisasi yang seharusnya menjadi mesin pertumbuhan nasional justru berjalan lambat dan tidak merata.
Secara keadilan sosial, situasi ini menciptakan kasta digital baru: kelompok yang punya akses terhadap modal, data, dan regulasi di puncak, sementara rakyat yang hanya memiliki kemampuan dan kreativitas dibiarkan di pinggiran sistem.
Jalan Menuju Meritokrasi yang Adil
Untuk membangun meritokrasi sejati di era digital, Sagu Agustinus S.H. mendorong reformasi pada dua pilar utama:
1. Ekonomi Digital yang Inklusif dan Kompetitif
Membuka akses modal ventura bagi talenta lokal dan UMKM.
Mengatur transparansi algoritma dan praktik data agar tidak dikuasai segelintir perusahaan besar.
Menetapkan insentif berbasis kinerja dan inovasi, bukan koneksi politik.
2. Hukum Digital yang Adil dan Transparan
Memperkuat perlindungan hukum terhadap hak digital dan hak cipta inovator.
Menegakkan prinsip rule of law yang independen dari tekanan ekonomi.