Mohon tunggu...
Herman Chipenk
Herman Chipenk Mohon Tunggu... Pemerhati Buruh dan Gig Workers

Sedang Mengetik..........

Selanjutnya

Tutup

New World

Manusia sebagai aset harga mati: Kenapa Rantai Pasokan Global Runtuh Tanpa Perlindungan Penuh untuk Gig Worker

2 Oktober 2025   00:41 Diperbarui: 2 Oktober 2025   00:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poto Sagu Agustinus 

Jakarta -- Perkembangan ekonomi berbasis aplikasi telah menciptakan kelas pekerja baru: Gig Worker. Mereka---mulai dari driver ojol, kurir logistik, hingga penyedia jasa digital---berdiri di garis depan, memastikan rantai pasokan global tetap berdenyut. Namun, pengamat regulasi digital, Sagu Agustinus, S.H., mengingatkan adanya paradoks besar: kontribusi mereka vital, tetapi status dan perlindungan mereka terabaikan.

Dalam pandangannya, sudah saatnya perusahaan platform dan regulator mengubah paradigma: rantai pasokan tidak boleh hanya dilihat dari kacamata aliran barang, melainkan harus menempatkan manusia sebagai aset tak berwujud (Intangible Asset) yang wajib diproteksi dan dicatat secara akuntabel.

Arena Kompetisi dan 'Prajurit Tak Terlihat'

Menurut Sagu Agustinus, di era globalisasi, rantai pasokan telah menjadi medan 'Perang Supply Chain'. Pandemi COVID-19 membuktikan rapuhnya sistem ini, di mana gig worker muncul sebagai "prajurit tak terlihat" yang mencegah keruntuhan total logistik dan layanan penting.

"Keberlanjutan rantai pasokan global tidak hanya ditentukan oleh efisiensi teknologi, melainkan oleh keberlangsungan tenaga kerja yang mendukungnya," tegas Sagu. Ia menyebut gig worker sebagai titik simpul penting yang menentukan apakah supply chain tetap tangguh (resilien) atau justru hancur.

Asimetri Keuntungan: Aset di Lapangan, Beban di Individu

Secara akuntansi, gig worker berfungsi sebagai aset manusia (human asset) yang memberikan tiga nilai tambah utama bagi perusahaan platform:

Produktivitas Fleksibel yang cepat merespons pasar.

Goodwill Sosial yang menciptakan loyalitas pelanggan.

Jaringan Distribusi Digital sebagai perpanjangan tangan fisik teknologi.

Ironisnya, status mereka sering dikategorikan sebagai "mitra," bukan pekerja. Asimetri pun terjadi: perusahaan memperoleh keuntungan besar dari aset ini, tetapi beban risiko operasional, kesehatan, dan jaminan sosial ditanggung sepenuhnya oleh individu gig worker.

Tuntutan Akuntabilitas Global

Sagu Agustinus mendesak agar Human Resource Accounting (HRA) diterapkan secara serius dalam konteks gig economy. Biaya untuk kesehatan, asuransi, dan perlindungan sosial gig worker harus dicatat sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar pengeluaran.

Untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, proteksi gig worker harus didasarkan pada prinsip-prinsip rantai pasokan:

Reliabilitas: Memastikan kontrak yang adil dan perlindungan hukum.

Resiliensi: Memberikan jaminan kesehatan, asuransi sosial, dan jaminan kerja.

Akuntabilitas: Perusahaan wajib mencatat, melaporkan, dan bertanggung jawab atas kondisi pekerja sebagai bagian dari aset manusia mereka.

"Jika rantai pasokan adalah sistem peredaran darah ekonomi, maka gig worker adalah sel darahnya. Tanpa perlindungan yang memadai terhadap aset manusia ini, rantai pasokan akan kehilangan nyawanya," tutup Sagu Agustinus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun