Ironisnya, status mereka sering dikategorikan sebagai "mitra," bukan pekerja. Asimetri pun terjadi: perusahaan memperoleh keuntungan besar dari aset ini, tetapi beban risiko operasional, kesehatan, dan jaminan sosial ditanggung sepenuhnya oleh individu gig worker.
Tuntutan Akuntabilitas Global
Sagu Agustinus mendesak agar Human Resource Accounting (HRA) diterapkan secara serius dalam konteks gig economy. Biaya untuk kesehatan, asuransi, dan perlindungan sosial gig worker harus dicatat sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar pengeluaran.
Untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, proteksi gig worker harus didasarkan pada prinsip-prinsip rantai pasokan:
Reliabilitas: Memastikan kontrak yang adil dan perlindungan hukum.
Resiliensi: Memberikan jaminan kesehatan, asuransi sosial, dan jaminan kerja.
Akuntabilitas: Perusahaan wajib mencatat, melaporkan, dan bertanggung jawab atas kondisi pekerja sebagai bagian dari aset manusia mereka.
"Jika rantai pasokan adalah sistem peredaran darah ekonomi, maka gig worker adalah sel darahnya. Tanpa perlindungan yang memadai terhadap aset manusia ini, rantai pasokan akan kehilangan nyawanya," tutup Sagu Agustinus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI