Rencananya seperti biasa, penulis akan jalan pagi di lapangan bola dekat perumahan dimana penulis tinggal bersama isteri. Tetapi seperti pepatah katakan, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Karena tanpa aba-aba mendung tebal secara berarak datang dengan tiba-tiba. Alhasil kami berdua hanya duduk berdua di teras dengan menikmati secangkir teh dengan ditemani kue kesukaan penulis.
Dan seperti itulah juga perjalanan hidup yang terkadang tidak bisa diprediksi, layaknya ramalan cuaca yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika. Terkadang tepat terkadang juga meleset, sekalipun sudah dengan dibantu peralatan yang mumpuni. Sambil sesekali membaca berita lewat media sosial yang ada dalam genggaman kami berdua berbincang santai.
Buat penulis secara pribadi, membaca berita rasanya lebih sreg dan lebih nyaman dengan membaca koran seperti jaman dahulu sebelum teknologi berkembang begitu pesat. Mata ini bisa leluasa melihat lembar demi lembar koran, mulai dari berita politik, berita olahraga sampai lowongan kerja dan iklan yang mengharu biru ataupun jadual film yang akan tayang di bioskop.
Di tengah perbincangan dengan isteri kemarin pagi, salah satunya adalah pembicaraan terkait demo yang dilakukan kaum mahasiswa dengan mengangkat tagline Indonesia Gelap dan juga tagar Kabur Aja Dulu. Mungkin bagi seorang pensiunan seperti penulis, ada rasa yang tidak dirasa-rasa mengikuti perkembangan negeri ini. Apa sudah demikian kondisi negeri yang disebut Negara Zamrud Khatulistiwa ini ?
Sambil meneguk teh yang tinggal separuh, tiba- tiba saja terlontar kata-kata dari isteri penulis. Dia katakan, enak sekali hidupnya mama, adik-adik dan sepupu yang sudah menghadap hadirat Tuhan. Mereka tidak mengalami kejadian-kejadian seperti yang terjadi sekarang ini. Hampir semua harga di pasar merangkak naik, banyak PHK, dan orang-orang yang di atas tidak mengerti kondisi rakyat jelata yang sedang megap-megap. Kedua matanya nanar dan terlihat ada tetesan air mata.
Memang isteri penulis di kala Covid menghentak negeri ini, banyak kehilangan orang-orang dicintainya. Mulai dari mamanya, ketiga adiknya, kedua tantenya dan seorang sepupunya. Apalagi mereka dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dalam kurun waktu yang berdekatan. Seingat penulis hanya hitungan bulan. Dan itu membuat isteri penulis terhempas dan kehilangan suka cita.
Dan itu seperti yang ada tertulis. Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup. Dan di sisi yang lain tertulis juga demikian. Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada, yang belum melihat perbuatan jahat, yang terjadi di bawah matahari.
Benar juga. Karena orang-orang yang sudah meninggal dan yang belum dilahirkan ke dunia tidak mengalami dan menjalani kehidupan yang serba sulit. Apalagi ketika hukum ditunggang balikkan semaunya menurut ukuran mata uang yang dibayarkan, bukan berlandaskan kebenaran yang seutuhnya. Sepertinya kita jadi meraba-raba dalam dunia yang gelap, yang tidak tahu mau kemana dibawa kehidupan di negeri yang katanya loh jinawi.